Jam 4:25 sore, aku sampai di depan bank tersebut. Mobil kuparkir, lalu aku bersama kakakku sambil membawa dua payung menghampiri bis-bis yang diparkir di depan bank, agak lama juga aku mencari sepu puku ini, maklum aku belum pernah bertemu dia dan kakakku sendiri agak lupa dengan wajahnya. Setela h kurang lebih 5 menit, akhirnya bertemu juga. Kemudian kami pulang ke rumahku, dia senang sekali b isa bertemu denganku. Awalnya dia berencana mau menginap 1 hari tetapi kemudian dirubah jadi 2 hari . Sepupuku ini tidak punya saudara laki-laki, jadi ketika kami bertemu, dia senang sekali dan menga nggap aku seperti kakak kandungnya. Selama dia menginap di rumah, dia selalu ingin dekat denganku t erus. Aku menganggap biasa-biasa saja dan tidak ada pikiran lain.
Ketika dia mau pulang, dia mau pulang sendirian, orang tuaku sepertinya tidak tega melepas dia pulang sendirian, akhirnya aku dis uruh mengantar dia pulang ke Jawa Timur, padahal waktu itu aku sedang berobat jalan karena aku meng idap alergi serpihan kulit manusia (aneh ya..? aku saja dulu tidak percaya). Aku harus datang ke do kter pribadiku setiap hari Selasa dan Jum'at buat disuntik. Tetapi, menurutku tidak apa-apa karena kupikir nanti jika sudah sampai di sana, aku langsung pulang saja pikirku. Jadilah aku mengantar di a pulang ke Jawa Timur. O.. iya, sebelum terlalu jauh aku bercerita, kuperkenalkan dahulu diriku, n amaku Padi dan nama sepupuku Ana. Di jalan kami bercerita tentang daerah asalnya yang ternyata ada di kawasan pantai utara Jawa Timur.
Kami mampir ke Madiun dulu, karena katanya dia mau mengambil baju-bajunya yang mau dibawa sekalian dicuci di rumah. Sampai di Madiun, kira-kira pukul 5:00 sore , kami menuju tempat kosnya yang sederhana di komplek Akabri. Setelah selesai dengan urusan di Madi un, kami langsung pergi lagi meneruskan perjalanan. Di perjalanan, aku bertanya dengan dia.
"Eh, A n.. dari sini sampai ke kotamu berapa lama sih..?" tanyaku.
"Ya.. mungkin kira-kira 8 jam Mas.." k atanya.
Dalam hati aku berpikir, "Wah, bakalan capek di jalan nih.. sialan.."
Waktu berlalu, ki ra-kira pukul 9 malam, kami masih ada di atas bis jurusan ke kotanya. Malam itu kurasakan sangat di ngin, apalagi ditambah tiupan angin yang sangat kencang. Di dalam bis yang lumayan penuh itu, aku d uduk di kursi kedua dari belakang sejajar dengan Ana. Pintu bis yang ada di sebelah kananku ternyat a tidak bisa ditutup, karena kuncinya rusak kata kernetnya. Ana yang merasa kedinginan terkena tiup an angin, bingung mau bagaimana sebab dia tidak membawa jaket atau sweater buat penghangat, sedangk an aku sendiri tidak masalah. Kemudian kutawarkan dia untuk pindah tempat duduk di sebelah kananku, yah.. lumayan dia terlindung dari angin oleh badanku.
Sekitar 10 menit setelah itu, dia bilang katanya dia merasa mengantuk, aku tawarkan dia untuk tidur saja di pangkuanku. Dia mau dan langsung dia rebahkan kepalanya di pahaku, waktu itu aku sebenarnya agak kawatir dengan penumpang lainnya. Jangan-jangan ada yang berpikiran macam-macam tentang kami, meskipun begitu aku akhirnya memutuskan untuk santai saja. Si Ana dengan cepat tertidur dengan pulasnya, tanganku kutaruh di atas punggung nya biar dia merasa lebih hangat. Tawaranku untuk tidur di pahaku ternyata berbekas sekali di hati sepupuku ini, sepertinya dia merasa ada sesuatu yang lain yang dirasakannya setelah dia merebahkan kepalanya di pahaku. Mungkin karena dia masih anak SMU yang belum pernah merasakan kasih sayang dar i seorang cowok, tetapi kok ya kebetulan justru dengan kakak sepupunya sendiri.
Tidak terasa, bi s telah memasuki terminal di kotanya. Waktu itu jam 1 pagi. Kami langsung mencari becak untuk pulan g ke rumahnya. Sampai di rumahnya yang sederhana (bapaknya bekerja sebagai sipir penjara dan ibunya guru SD), aku langsung disambut oleh Omku. Kami berbincang-bincang sejenak sambil nonton MTV. Tida k lama kemudian, Omku minta diri untuk tidur. Aku mempersilakan Omku untuk tidur. Aku sendirian yan g belum merasa mengantuk dan meneruskan melihat TV. Si Ana sendiri ada di kamarnya sedang bicara de ngan adiknya. Kira-kira 5 menit kemudian, kudengar ada orang datang masuk ke ruang TV dimana aku be rada, yang Ternyata Ana.
Aku bertanya pada dia, "Lho.. An, kamu ngga tidur? Kan udah malem, bahk an pagi nih!"
"Lah.. Mas sendiri gimana? Kok ngga tidur juga?" dia balik bertanya.
"Mas kan udah biasa melek sampai pagi, lagian acaranya bagus nih, MTV music Awards."
"Iya deh.. tapi Ana boleh n emenin Mas ngga?"
"Boleh aja, asal bikinin Mas kopi panas dong.."
"Ih.. Mas curang.. Oke deh Ana buatin."
Kemudian dia beranjak pergi ke dapur untuk membuatkan kopi untukku. Sewaktu dia jalan ke dapur, dia melewati ruangan makan yang gelap, sedangkan ruang dapurnya sendiri dibiarkan terang, se bab Omku orangnya suka makan, jadi kalau malam dia sering ke dapur untuk cari makanan.
Sewaktu d ia melewati kamar makan yang kebetulan bisa terlihat dari tempat dudukku, aku agak kaget karena kul ihat dasternya kelihatan menerawang terkena cahaya dari dapur. Si Ana ini sebenarnya tidak hanya ma nis tetapi juga cantik, tubuhnya agak gemuk, tinggi sekitar 158 cm, ukuran dadanya berapa ya? Tidak tahu.. Kulitnya sawo matang dan yang paling menarik adalah matanya yang khas cewek Jawa, tidak bes ar juga tidak kecil. Sekilas kulihat bentuk tubuhnya sewaktu dia melewati ruang makan. Jantungku me rasa agak berdebar karena aku kan laki-laki, jadi lihat yang seperti itu kan, ya gimana gitu. Seles ai dia membuat kopi, segera dia menuju ke arahku, terus dia bergabung nonton MTV. Sejenak aku lupa akan kejadian yang mendebarkan tadi (menurutku lumayan mendebar kan lho).
Kami berbincang-bincan g sambil mengomentari pemenang-pemenang yang sedang diumumkan di TV.
Tiba-tiba dia nyeletuk, "Mas. . tadi enak lho tiduran di pangkuannya Mas.."
"Kenapa emangnya? Mau lagi ya, sini deket-deket Mas. .?" kataku.
"Oke deh!"
Kemudian dia mendekat ke arahku dan merebahkan kepalanya di pahaku lagi. N ah, sekarang aku mulai berpikiran macam-macam nih, karena kan dia hanya memakai daster dan di dalam dasternya hanya ada CD dan BH saja. Mau tidak mau batangku mulai bereaksi pelan-pelan, tetapi dia tidak tahu. Masih sekitar 10 menit kami berbincang-bincang, tanganku kutaruh di atas pinggulnya, da n kurasa dia tidak keberatan. Lama-lama sepertinya dia mengantuk dan mulai sembarangan kalau menjaw ab pertanyaan atau komentarku.
"An.. geser dikit dong, soalnya pahaku kesemutan nih! Sebentar, g anti pake bantal aja yah..?"
Kemudian kuangkat kepalanya, kupindahkan dia ke bantal yang ada di so fa, sedangkan kakinya kuangkat ke atas pahaku. Singkat cerita, dia sudah tertidur dengan pulas. Pik iranku mulai keluar pikiran iseng, tanganku aku rabakan di kakinya. Sambil pura-pura memijat, dari bawah pelan-pelan naik ke atas, terus turun lagi, naik lagi.. lama-lama aku memijatnya terlalu naik sampai hampir menyentuh pangkal pahanya. Rupanya dia terbangun.
"Ngapain Mas..?"
"Eh.. ngga kok cuman mijitin, kan kamu capek barusan abis naik bis jarak jauh?"
"Mmm.., boleh juga.. tapi mijitny a jangan keras-keras ya Mas.."
"Oke An.."
Nah, aku teruskan kembali memijatnya, tetapi kali ini mijatnya lain, aku kan sedikit-sedikit pernah baca tentang pijatan erotis, maka aku mencoba untuk mempraktekkannya sekarang. Pertama kuletakkan tanganku di telapak kakinya, terus kucari simpul yang bisa membangkitkan gairah seksnya.
"Nah, ketemu nih.." batinku.
Pelan-pelan kupijat bagian itu s ambil tanganku yang satunya juga memijat-mijat paha kanannya.
Setengah sadar dia bertanya, "Mas, kok enak banget sih pijitannya?"
"Tenang aja deh, yang ini belum apa-apa, entar ada yang lebih he bat." jawabku.
Lama kelamaan dia jadi tidak merasa ngantuk, tetapi menikmati pijatan-pijatan tanga nku sambil mengeluarkan suara lenguhan yang sangat merangsang, "Nnggh.. ngghh.. enak loh Mas.. agak naik dikit Mas.. yang ini lho di atas dengkul.., ya.. di situ.. terus.. terus.."
Aku tahu dia t idak sadar kalau sedang aku kerjain. Lama-lama kulihat dia sepertinya mau bangkit dari tidurnya. Ke mudian waktu kubiarkan, ternyata dia tiba-tiba memelukku dan berusaha mencium bibirku. Aku sendiri menyambut ciumannya dengan bersemangat.
"Wah, lha ini nih yang kunanti," batinku.
Ketika dia mau pulang, dia mau pulang sendirian, orang tuaku sepertinya tidak tega melepas dia pulang sendirian, akhirnya aku dis uruh mengantar dia pulang ke Jawa Timur, padahal waktu itu aku sedang berobat jalan karena aku meng idap alergi serpihan kulit manusia (aneh ya..? aku saja dulu tidak percaya). Aku harus datang ke do kter pribadiku setiap hari Selasa dan Jum'at buat disuntik. Tetapi, menurutku tidak apa-apa karena kupikir nanti jika sudah sampai di sana, aku langsung pulang saja pikirku. Jadilah aku mengantar di a pulang ke Jawa Timur. O.. iya, sebelum terlalu jauh aku bercerita, kuperkenalkan dahulu diriku, n amaku Padi dan nama sepupuku Ana. Di jalan kami bercerita tentang daerah asalnya yang ternyata ada di kawasan pantai utara Jawa Timur.
Kami mampir ke Madiun dulu, karena katanya dia mau mengambil baju-bajunya yang mau dibawa sekalian dicuci di rumah. Sampai di Madiun, kira-kira pukul 5:00 sore , kami menuju tempat kosnya yang sederhana di komplek Akabri. Setelah selesai dengan urusan di Madi un, kami langsung pergi lagi meneruskan perjalanan. Di perjalanan, aku bertanya dengan dia.
"Eh, A n.. dari sini sampai ke kotamu berapa lama sih..?" tanyaku.
"Ya.. mungkin kira-kira 8 jam Mas.." k atanya.
Dalam hati aku berpikir, "Wah, bakalan capek di jalan nih.. sialan.."
Waktu berlalu, ki ra-kira pukul 9 malam, kami masih ada di atas bis jurusan ke kotanya. Malam itu kurasakan sangat di ngin, apalagi ditambah tiupan angin yang sangat kencang. Di dalam bis yang lumayan penuh itu, aku d uduk di kursi kedua dari belakang sejajar dengan Ana. Pintu bis yang ada di sebelah kananku ternyat a tidak bisa ditutup, karena kuncinya rusak kata kernetnya. Ana yang merasa kedinginan terkena tiup an angin, bingung mau bagaimana sebab dia tidak membawa jaket atau sweater buat penghangat, sedangk an aku sendiri tidak masalah. Kemudian kutawarkan dia untuk pindah tempat duduk di sebelah kananku, yah.. lumayan dia terlindung dari angin oleh badanku.
Sekitar 10 menit setelah itu, dia bilang katanya dia merasa mengantuk, aku tawarkan dia untuk tidur saja di pangkuanku. Dia mau dan langsung dia rebahkan kepalanya di pahaku, waktu itu aku sebenarnya agak kawatir dengan penumpang lainnya. Jangan-jangan ada yang berpikiran macam-macam tentang kami, meskipun begitu aku akhirnya memutuskan untuk santai saja. Si Ana dengan cepat tertidur dengan pulasnya, tanganku kutaruh di atas punggung nya biar dia merasa lebih hangat. Tawaranku untuk tidur di pahaku ternyata berbekas sekali di hati sepupuku ini, sepertinya dia merasa ada sesuatu yang lain yang dirasakannya setelah dia merebahkan kepalanya di pahaku. Mungkin karena dia masih anak SMU yang belum pernah merasakan kasih sayang dar i seorang cowok, tetapi kok ya kebetulan justru dengan kakak sepupunya sendiri.
Tidak terasa, bi s telah memasuki terminal di kotanya. Waktu itu jam 1 pagi. Kami langsung mencari becak untuk pulan g ke rumahnya. Sampai di rumahnya yang sederhana (bapaknya bekerja sebagai sipir penjara dan ibunya guru SD), aku langsung disambut oleh Omku. Kami berbincang-bincang sejenak sambil nonton MTV. Tida k lama kemudian, Omku minta diri untuk tidur. Aku mempersilakan Omku untuk tidur. Aku sendirian yan g belum merasa mengantuk dan meneruskan melihat TV. Si Ana sendiri ada di kamarnya sedang bicara de ngan adiknya. Kira-kira 5 menit kemudian, kudengar ada orang datang masuk ke ruang TV dimana aku be rada, yang Ternyata Ana.
Aku bertanya pada dia, "Lho.. An, kamu ngga tidur? Kan udah malem, bahk an pagi nih!"
"Lah.. Mas sendiri gimana? Kok ngga tidur juga?" dia balik bertanya.
"Mas kan udah biasa melek sampai pagi, lagian acaranya bagus nih, MTV music Awards."
"Iya deh.. tapi Ana boleh n emenin Mas ngga?"
"Boleh aja, asal bikinin Mas kopi panas dong.."
"Ih.. Mas curang.. Oke deh Ana buatin."
Kemudian dia beranjak pergi ke dapur untuk membuatkan kopi untukku. Sewaktu dia jalan ke dapur, dia melewati ruangan makan yang gelap, sedangkan ruang dapurnya sendiri dibiarkan terang, se bab Omku orangnya suka makan, jadi kalau malam dia sering ke dapur untuk cari makanan.
Sewaktu d ia melewati kamar makan yang kebetulan bisa terlihat dari tempat dudukku, aku agak kaget karena kul ihat dasternya kelihatan menerawang terkena cahaya dari dapur. Si Ana ini sebenarnya tidak hanya ma nis tetapi juga cantik, tubuhnya agak gemuk, tinggi sekitar 158 cm, ukuran dadanya berapa ya? Tidak tahu.. Kulitnya sawo matang dan yang paling menarik adalah matanya yang khas cewek Jawa, tidak bes ar juga tidak kecil. Sekilas kulihat bentuk tubuhnya sewaktu dia melewati ruang makan. Jantungku me rasa agak berdebar karena aku kan laki-laki, jadi lihat yang seperti itu kan, ya gimana gitu. Seles ai dia membuat kopi, segera dia menuju ke arahku, terus dia bergabung nonton MTV. Sejenak aku lupa akan kejadian yang mendebarkan tadi (menurutku lumayan mendebar kan lho).
Kami berbincang-bincan g sambil mengomentari pemenang-pemenang yang sedang diumumkan di TV.
Tiba-tiba dia nyeletuk, "Mas. . tadi enak lho tiduran di pangkuannya Mas.."
"Kenapa emangnya? Mau lagi ya, sini deket-deket Mas. .?" kataku.
"Oke deh!"
Kemudian dia mendekat ke arahku dan merebahkan kepalanya di pahaku lagi. N ah, sekarang aku mulai berpikiran macam-macam nih, karena kan dia hanya memakai daster dan di dalam dasternya hanya ada CD dan BH saja. Mau tidak mau batangku mulai bereaksi pelan-pelan, tetapi dia tidak tahu. Masih sekitar 10 menit kami berbincang-bincang, tanganku kutaruh di atas pinggulnya, da n kurasa dia tidak keberatan. Lama-lama sepertinya dia mengantuk dan mulai sembarangan kalau menjaw ab pertanyaan atau komentarku.
"An.. geser dikit dong, soalnya pahaku kesemutan nih! Sebentar, g anti pake bantal aja yah..?"
Kemudian kuangkat kepalanya, kupindahkan dia ke bantal yang ada di so fa, sedangkan kakinya kuangkat ke atas pahaku. Singkat cerita, dia sudah tertidur dengan pulas. Pik iranku mulai keluar pikiran iseng, tanganku aku rabakan di kakinya. Sambil pura-pura memijat, dari bawah pelan-pelan naik ke atas, terus turun lagi, naik lagi.. lama-lama aku memijatnya terlalu naik sampai hampir menyentuh pangkal pahanya. Rupanya dia terbangun.
"Ngapain Mas..?"
"Eh.. ngga kok cuman mijitin, kan kamu capek barusan abis naik bis jarak jauh?"
"Mmm.., boleh juga.. tapi mijitny a jangan keras-keras ya Mas.."
"Oke An.."
Nah, aku teruskan kembali memijatnya, tetapi kali ini mijatnya lain, aku kan sedikit-sedikit pernah baca tentang pijatan erotis, maka aku mencoba untuk mempraktekkannya sekarang. Pertama kuletakkan tanganku di telapak kakinya, terus kucari simpul yang bisa membangkitkan gairah seksnya.
"Nah, ketemu nih.." batinku.
Pelan-pelan kupijat bagian itu s ambil tanganku yang satunya juga memijat-mijat paha kanannya.
Setengah sadar dia bertanya, "Mas, kok enak banget sih pijitannya?"
"Tenang aja deh, yang ini belum apa-apa, entar ada yang lebih he bat." jawabku.
Lama kelamaan dia jadi tidak merasa ngantuk, tetapi menikmati pijatan-pijatan tanga nku sambil mengeluarkan suara lenguhan yang sangat merangsang, "Nnggh.. ngghh.. enak loh Mas.. agak naik dikit Mas.. yang ini lho di atas dengkul.., ya.. di situ.. terus.. terus.."
Aku tahu dia t idak sadar kalau sedang aku kerjain. Lama-lama kulihat dia sepertinya mau bangkit dari tidurnya. Ke mudian waktu kubiarkan, ternyata dia tiba-tiba memelukku dan berusaha mencium bibirku. Aku sendiri menyambut ciumannya dengan bersemangat.
"Wah, lha ini nih yang kunanti," batinku.
Ciumannya lumay an dahsyat, sampai lidahnya masuk ke mulutku seperti ular. Lidahku sendiri jadi tidak mau kalah men yambut lidahnya yang masuk ke mulutku (heran juga anak ini kok bisa senekat ini pikirku). Dan terny ata, kok luar biasa ciummannya untuk ukuran anak SMU yang belum pernah pacaran, tangannya melingkar di punggungku dan berusaha masuk ke dalam t-shirtku.
Gerakan tubuhnya terlihat sekali terbakar oleh rangsangan yang kuberikan melalui pijatan tadi, tubuhnya naik turun sambil sesekali bergoyang ke kiri dan ke kanan. Lama-lama daster yang dia kenakan tertarik ke atas oleh karena gerakannya ter sebut, dan tanganku pun bisa leluasa untuk memegang pantatnya. Dia memakai celana dalam yang tipis berenda. Pelan-pelan kumasukkan tanganku ke dalam CD-nya dari atas. Aku berhasil memegang pantatnya , wah.. seketika aku merasakan suatu gelora dalam diriku, sepertinya aku sendiri mulai terserang ra ngsangan yang sangat kuat. Aku pijat-pijat pantatnya, sementara kami masih saling berpagut, dia sen diri terlihat sangat menikmati pijatan tanganku pada pantatnya. Lalu aku mulai menaikkan tanganku, berusaha untuk membuka dasternya. Tanpa hambatan, aku berhasil menaikkan dasternya sampai ke bagian leher, kudorong dia pelan-pelan ke belakang, dia berusaha untuk tetap memelukku.
Aku berbisik p adanya, "An.. tolong kamu mundur sebentar, aku tolong kamu nglepasin dastermu."
Dia mengangguk pel an, lalu kubuka dasternya. Kulihat tubuhnya yang mulus hanya ditutupi BH dan CD saja.
"An.. gimana kalo semuanya aku buka..?" tanyaku.
Ternyata ia mengangguk mengiyakan, "Silakan Mas.."
Kubuka pe lan-pelan BH-nya sambil kubelai dua bukit di dadanya dengan lembut.
"Ehm.. Mas.., Ana sayang sama Mas.." katanya.
Aku tidak menjawab perkataannya. Kemudian kudekatkan wajahku ke buah dadanya dan m ulai mengulum-ngulum pucuk bukitnya. Dia terlihat sangat menikmati perlakuanku tersebut, matanya te rlihat sayu dan sepertinya mengharap yang lebih dari sekedar dikulum pucuk bukitnya.
Aku menengo k ke arah jam dinding yang terletak di atas pintu, jarum menunjukkan pukul 12:08 malam. Aku sempat berpikir, sebenarnya bahaya kalau tiba-tiba Om atau Tanteku memergoki kami yang sedang asik di sini . Sekejap aku memutar otak, aku lalu berbisik ketelinga Ana.
"An.. kita pindah ke kamarku aja yah? "
Dia tersentak mendengar bisikanku. Aku sendiri kaget, "Apaan nih? Kok jadi medadak berubah?"
Ak u rasakan ternyata Ana sepertinya tersadar atas apa yang sedang diperbuatnya. Dengan terburu-buru, dia menyambar pakaiannya dan berusaha lari menuju kamarnya. Cepat sekali kejadian itu berlalu, aku sendiri tidak sempat melakukan apa-apa, aku hanya melongo seperti Mandra diputus Munaroh. Gila, pem baca tahu sendiri kan? Lagi enak-enak bercumbu, tidak tahunya putus di tengah jalan. Tetapi aku sen diri maklum, sebenarnya Ana adalah anak yang taat beribadah. Dan kuyakin yang barus saja kualami, s ebenarnya dia melakukannya di bawah sadar.
Paginya, aku bangun sekitar pukul 9:00, ternyata aku semalam ketiduran di depan TV. Aku ngucek-ucek mataku sambil mencari dimana kacamataku, agak lama k ucari, tetapi tidak ada.
"Mana ya?" aku bergumam pelan.
Kebetulan Tante yang berjalan melewati ru ang TV menuju dapur mendengar gumamanku.
"Cari apa Di?" tanya Tanteku.
"Tante liat kacamata Padi ngga?"
"Ngga tuh.. mungkin jatuh di bawah meja, coba cari lagi," sambil dia berjalan menuju ke ara hku ingin membantu mencari.
Dicari-cari sudah lama, tetap tidak ketemu, "Yep.. nanti dicari lagi d eh Tante.. biar Padi mandi dulu." kataku.
"Oke lah, nanti Tante bantu lagi carinya."
"Oke Tante.. " sahutku.
Aku bergegas menuju ke kamarku, mengambil peralatan mandiku.
Kamarku terletak di seb elah kamar Ana, sempat kulihat dari celah kamar yang tidak tertutup semua. Ana masih kelihatan pula s tidurnya. Mungkin dia tidak bisa tidur setelah kejadian tadi malam. Habis mandi aku menuju ke rua ng TV lagi untuk mencari kacamataku yang masih sembunyi. Ternyata tante sudah ada di sana sedang no nton TV.
Aku tanya ke tante, "Ketemu ngga kacamatanya Tante?"
"Ngga tuh Di.. udah tante cari dima na-mana ngga ada, sampai-sampai sekalian Tante ngebersihin ruang ini deh."
"Waduh.. gimana nih.. s usah deh. Aku kan ngga bisa baca kalo ngga pake kacamata," pikirku, "Ya apa mau dikata, kalo lagi a pes, gini deh jadinya."
Pukul 9:30, kulihat kamar Ana sudah terbuka, beberapa menit kemudian Ren i (ini nama adiknya) bergabung dengan kami di ruang TV sambil membawa nampan berisi 4 gelas teh.
A ku tanya dia, "Kok cuman empat gelasnya Ren?"
"Ooo, Papa kan udah berangkat kerja Mas.., jadi Reni bikinnya cuman 4." jawabnya.
"Gitu ya?" sahutku.
Kami lalu berkumpul membicarakan keadaan Kota T uban, tiba-tiba si Reni bertanya ke Tante.
"Ma.. kacamata yang di kamar Reni itu punya siapa sih?" tanyanya.
"Eit! lha ini dia nih si kacamata.. ternyata ngumpet di sana," spontan aku menyahut, "H eh! Itu pasti kacamataku."
"Betul.. itu pasti kacamatanya Mas Padi, Ren!" sahut Tante, "Sana cepet am bilin!"
Reni lalu berdiri dan mesuk kamar untuk mengambil kacamataku. Aku berpikir, mungkin kac amataku semalam kesangkut di bajunya Ana. Sesaat kemudian Reni kembali membawa kacamataku, aku semp at was-was, moga-moga Tante tidak curiga kenapa kok kacamataku sampai bisa mampir kesana. Memang te rnyata dia tidak curiga sama sekali.
Pukul 10:00, Tante pamit mau berangkat ke pasar yang tidak terlalu jauh jaraknya dari rumahnya, si Reni ikut. Aku ditinggal sendirian. 5 menit waktu berlalu, aku mulai bosan, terus aku menuju teras depan ingin merokok. Di teras ternyata ada koran edisi hari itu, aku tertarik untuk membacanya. Kubolak-balik halamannya, tidak ada yang menarik. Bosan lagi d eh, ngelamun jadinya. Aku teringat kejadian tadi malam.
Dalam hati aku berpikir, "Sekarang di ruma h cuman ada aku berdua sama Ana. Wuih! kalo.. hehehe kalo.. misalnya aku iseng gimana ya?"
Akhirny a, ternyata aku nekat juga.
Gerakan tubuhnya terlihat sekali terbakar oleh rangsangan yang kuberikan melalui pijatan tadi, tubuhnya naik turun sambil sesekali bergoyang ke kiri dan ke kanan. Lama-lama daster yang dia kenakan tertarik ke atas oleh karena gerakannya ter sebut, dan tanganku pun bisa leluasa untuk memegang pantatnya. Dia memakai celana dalam yang tipis berenda. Pelan-pelan kumasukkan tanganku ke dalam CD-nya dari atas. Aku berhasil memegang pantatnya , wah.. seketika aku merasakan suatu gelora dalam diriku, sepertinya aku sendiri mulai terserang ra ngsangan yang sangat kuat. Aku pijat-pijat pantatnya, sementara kami masih saling berpagut, dia sen diri terlihat sangat menikmati pijatan tanganku pada pantatnya. Lalu aku mulai menaikkan tanganku, berusaha untuk membuka dasternya. Tanpa hambatan, aku berhasil menaikkan dasternya sampai ke bagian leher, kudorong dia pelan-pelan ke belakang, dia berusaha untuk tetap memelukku.
Aku berbisik p adanya, "An.. tolong kamu mundur sebentar, aku tolong kamu nglepasin dastermu."
Dia mengangguk pel an, lalu kubuka dasternya. Kulihat tubuhnya yang mulus hanya ditutupi BH dan CD saja.
"An.. gimana kalo semuanya aku buka..?" tanyaku.
Ternyata ia mengangguk mengiyakan, "Silakan Mas.."
Kubuka pe lan-pelan BH-nya sambil kubelai dua bukit di dadanya dengan lembut.
"Ehm.. Mas.., Ana sayang sama Mas.." katanya.
Aku tidak menjawab perkataannya. Kemudian kudekatkan wajahku ke buah dadanya dan m ulai mengulum-ngulum pucuk bukitnya. Dia terlihat sangat menikmati perlakuanku tersebut, matanya te rlihat sayu dan sepertinya mengharap yang lebih dari sekedar dikulum pucuk bukitnya.
Aku menengo k ke arah jam dinding yang terletak di atas pintu, jarum menunjukkan pukul 12:08 malam. Aku sempat berpikir, sebenarnya bahaya kalau tiba-tiba Om atau Tanteku memergoki kami yang sedang asik di sini . Sekejap aku memutar otak, aku lalu berbisik ketelinga Ana.
"An.. kita pindah ke kamarku aja yah? "
Dia tersentak mendengar bisikanku. Aku sendiri kaget, "Apaan nih? Kok jadi medadak berubah?"
Ak u rasakan ternyata Ana sepertinya tersadar atas apa yang sedang diperbuatnya. Dengan terburu-buru, dia menyambar pakaiannya dan berusaha lari menuju kamarnya. Cepat sekali kejadian itu berlalu, aku sendiri tidak sempat melakukan apa-apa, aku hanya melongo seperti Mandra diputus Munaroh. Gila, pem baca tahu sendiri kan? Lagi enak-enak bercumbu, tidak tahunya putus di tengah jalan. Tetapi aku sen diri maklum, sebenarnya Ana adalah anak yang taat beribadah. Dan kuyakin yang barus saja kualami, s ebenarnya dia melakukannya di bawah sadar.
Paginya, aku bangun sekitar pukul 9:00, ternyata aku semalam ketiduran di depan TV. Aku ngucek-ucek mataku sambil mencari dimana kacamataku, agak lama k ucari, tetapi tidak ada.
"Mana ya?" aku bergumam pelan.
Kebetulan Tante yang berjalan melewati ru ang TV menuju dapur mendengar gumamanku.
"Cari apa Di?" tanya Tanteku.
"Tante liat kacamata Padi ngga?"
"Ngga tuh.. mungkin jatuh di bawah meja, coba cari lagi," sambil dia berjalan menuju ke ara hku ingin membantu mencari.
Dicari-cari sudah lama, tetap tidak ketemu, "Yep.. nanti dicari lagi d eh Tante.. biar Padi mandi dulu." kataku.
"Oke lah, nanti Tante bantu lagi carinya."
"Oke Tante.. " sahutku.
Aku bergegas menuju ke kamarku, mengambil peralatan mandiku.
Kamarku terletak di seb elah kamar Ana, sempat kulihat dari celah kamar yang tidak tertutup semua. Ana masih kelihatan pula s tidurnya. Mungkin dia tidak bisa tidur setelah kejadian tadi malam. Habis mandi aku menuju ke rua ng TV lagi untuk mencari kacamataku yang masih sembunyi. Ternyata tante sudah ada di sana sedang no nton TV.
Aku tanya ke tante, "Ketemu ngga kacamatanya Tante?"
"Ngga tuh Di.. udah tante cari dima na-mana ngga ada, sampai-sampai sekalian Tante ngebersihin ruang ini deh."
"Waduh.. gimana nih.. s usah deh. Aku kan ngga bisa baca kalo ngga pake kacamata," pikirku, "Ya apa mau dikata, kalo lagi a pes, gini deh jadinya."
Pukul 9:30, kulihat kamar Ana sudah terbuka, beberapa menit kemudian Ren i (ini nama adiknya) bergabung dengan kami di ruang TV sambil membawa nampan berisi 4 gelas teh.
A ku tanya dia, "Kok cuman empat gelasnya Ren?"
"Ooo, Papa kan udah berangkat kerja Mas.., jadi Reni bikinnya cuman 4." jawabnya.
"Gitu ya?" sahutku.
Kami lalu berkumpul membicarakan keadaan Kota T uban, tiba-tiba si Reni bertanya ke Tante.
"Ma.. kacamata yang di kamar Reni itu punya siapa sih?" tanyanya.
"Eit! lha ini dia nih si kacamata.. ternyata ngumpet di sana," spontan aku menyahut, "H eh! Itu pasti kacamataku."
"Betul.. itu pasti kacamatanya Mas Padi, Ren!" sahut Tante, "Sana cepet am bilin!"
Reni lalu berdiri dan mesuk kamar untuk mengambil kacamataku. Aku berpikir, mungkin kac amataku semalam kesangkut di bajunya Ana. Sesaat kemudian Reni kembali membawa kacamataku, aku semp at was-was, moga-moga Tante tidak curiga kenapa kok kacamataku sampai bisa mampir kesana. Memang te rnyata dia tidak curiga sama sekali.
Pukul 10:00, Tante pamit mau berangkat ke pasar yang tidak terlalu jauh jaraknya dari rumahnya, si Reni ikut. Aku ditinggal sendirian. 5 menit waktu berlalu, aku mulai bosan, terus aku menuju teras depan ingin merokok. Di teras ternyata ada koran edisi hari itu, aku tertarik untuk membacanya. Kubolak-balik halamannya, tidak ada yang menarik. Bosan lagi d eh, ngelamun jadinya. Aku teringat kejadian tadi malam.
Dalam hati aku berpikir, "Sekarang di ruma h cuman ada aku berdua sama Ana. Wuih! kalo.. hehehe kalo.. misalnya aku iseng gimana ya?"
Akhirny a, ternyata aku nekat juga.
Aku bangkit dari tempat dudukku, masuk ke dalam. Sampai di depan pintu kamarku, aku punya ide. "Mmm harjoftcusnya pintu depan kututup ya, terus aku pasangkan kaleng krupuk di bagian dalam, biar kalo kebuka dari gnbjuluar kalengnya kegeser dan bikin suara brisik." pikirku.
Cepat-cepat kukembali ke ruang tamu dan melakdfhygukan rencanaku. Setelah itu, aku kembali lagi ke kamar, hati-hati kuintip ke dalam kamarnya Ana, ternyata dia masih pulas tertidur. Aku berjingkat masuk ke kamarnya, perlahan aku duduk di samping tidurnya. Dia tidurnya mengorok hingga aku mau tertawa waktu itu, tetapi kutahan karena takut dia terbangun. Dengan hanya diterangi lampu baca (kamarnya tidak ada jendelanya), kupandangi wajahnya lama. 5 menit lebih kupandangi dia, semakin lama semakin manis.
"Gila ya, dengan adik sepupu kok seperti itu?" tapi pikirku, "Biarin aja lah, iseng-iseng berhadiah."
Kemudian aku mulai mencoba membelai rambutnya, pelan tetknltapi pasti. Dia tidak bereaksi, dia tidurnya brukut (memakai selimutnya sampai menutupi leher). Aku berusaha membuka selimutnya perlahan, kutarik ke bawah dan dia tetap tidak bereaksi. Kumasukkan tanganku ke dalam selimutnya sambil berusaha mencari payudaranya. Dengan tanpa kesulitan, tanganku sudah memegang payudaranya, tetapi masih terhalang dasternya.
"Eit.. nanti dulu.. ternyata dia ngga pake BH! Berarti semalam dia ngga pake BH-nya lagi dong, wah asik nih.." pikirku.
Lalu kumasukkan tanganku melalui lubang di antara kancing dasternya. Tidak susah juga, tanganku sudah memegang daging empuk dengan tonjolan di puncaknya.
Ana menggeliat, agak keras menggeliatnya, dia terbangun.
"Mampus gua," pikirku.
Dia melotot sambil teriak, "Lepasin dong Mas.. apa-apaan nih Mas?"
Aku gelagapan berusaha mencari alasan, "An.. kamu ngga inget semalem ya?"
"Lupain aja Mas! Ana ngga mau lagi, ngga boleh, entar dosa Mas!"
"Tapi Ana semalem udah ngelakuin dosa lho.. kenapa ngga sekalian aja?" rayuku.
Kali ini dia benar-benar marah. Ana teriak-teriak menyuruhku keluar dari kamarnya. Aku turut saja, untung letak rumahnya berjauhan dengan tetangga, jadi aku tidak takut teriakannya terdengar tetangganya.
Wah.. gagal nih ceritanya.., aku akhirnya hanya meraba-taba batang kemaluanku yang menganggur karena tidak jadi dipakai. Aku duduk di ruang TV lagi. Melihat acara tarian Bangkok, lumayan lah buat obat, melihat penyanyi Thailand yang cantik-cantik. Sebentar kemudian Ana keluar dari kamarnya, dia menuju ke arahku. Aku berusaha tidak peduli, dia lalu duduk di dekatku.
Katanya, "Mas maapin Ana ya? Ana udah bentak-bentak Mas.."
"Ngga papa An.., Mas yang salah." balasku.
"Sebenarnya Ana sayang sama Mas, tapi kita kan masih bersaudara, apalagi nanti kalo ketahuan ama Papa-Mama kan bisa berabe Mas!" jelasnya.
"Ya sudah.. lupain aja An, toh kamu masih muda. Nanti juga pasti ada cowok lain yang lebih pantas buat kamu." lanjutku.
"Iya Mas, Mas.. Ana mau ngasih sesuatu buat Mas."
"Apa An?" tanyaku.
"Liat sini deh Mas.." (dia mulai tidak kaku lagi)
Aku menoleh ke arahnya, tiba-tiba dia mendekatkan bibirnya ke arah bibirku.
"Mmpphh.."
"Plaas!" jantungku spontan berdegup keras, "Kok tau-tau nyium sih?" pikirku, tetapi kunikmati saja, enak sih.
Pertamanya dia hanya mau mengecup saja, tetapi kulingkarkan tanganku di lehernya, dan kudekap dia. Dengan lembut kukecup bibirnya, dia tidak berontak ternyata, aku pererat dekapanku, dada kami sudah saling menempel. Aku merasakan kalau dia masih belum memakai BH-nya. Dengan perlahan kubelai punggungnya, dasternya yang terbuat dari sutera terasa halus sekali, sensasinya justru membuatku jadi semakin ON saja. Coba saja pasangan anda disuruh pakai lingerie yang bahannya sutera, ditanggung kalau diraba pasti enak sekali. Lama kami berciuman dengan posisi itu, akhirnya capai juga aku. Kulepas pelukanku dan mengakhiri ciuman.
Aku berkata pada Ana, "Sini An.. Mas pangku.."
"Ngga ah Mas.. nanti kayak tadi malem deh jadinya..!"
"Percaya deh sama Mas.. ngga sampe ngelakuin yang ngga-ngga kok, okey?"
Dia akhirnya mengalah, mungkin dia masih ada rasa ingin juga, dia juga tahu kalau sekarang kami hanya berdua saja di rumah, So? Why not?. Dia duduk di pangkuanku menghadap TV, tanganku bergerak dengan bebas di dadanya.
Kuraba dadanya sambil berkata, "An.. Ana ngga marah-marah lagi nih?"
"Biarin lah Mas.. udah terlanjur nih, tapi janji ya jangan kebablasen.." pintanya.
"Okey An!"
Dari belakang, sambil tanganku membelai payudaranya, kulihat dia memejamkan matanya menikmati belaian tanganku. Tanganku meraba payudaranya dengan hati-hati, penuh perasaan aku membelainya, aku sendiri memejamkan mataku jadinya. Pelan tapi pasti, tanganku bergerak turun menuju perutnya. Agak dekat dengan V-nya kugunakan kuku jariku yang agak panjang untuk membangkitkan rangsangan di perutnya. Kulirik dia, terlihat dia menahan perutnya dengan membuat kaku daerah itu.
Dia menikmati perbuatanku, perlahan dasternya kutarik ke atas, dia diam saja, ujung dasternya sudah sampai ke pahanya. Sedikit lagi pasti aku bisa meraih celana dalamnya. Akhirnya sampai juga, CD-nya sudah tidak tertutup lagi, sekilas kulihat bercak basah di ujung V-nya. Tanpa berpikir lama, kupindahkan tanganku ke sana, tanganku merasakan memang di daerah itu sudah basah. Kusimpulkan pasti dia sudah terangsang berat. Lalu kuselipkan tanganku ke dalam CD-nya, tetapi dia kali ini menahan tanganku supaya tidak masuk ke sana. Aku urungkan niatku untuk itu, tanganku hanya menggosok-gosok dari luar saja. Kemudian terlihat dia mengeluarkan lenguhan dan badannya menegang, seperti menahan sesuatu. Orgasme rupanya. Lalu badannya melemas lunglai di pelukanku.
Tanganku yang masih berada di selangkangannya merasakan kalau CD-nya bertambah basah. Kemudian Ana memandangiku. Lama kami berpandangan.
Ana kemudian bicara, "Mas, kita lakukan yuk. Ana udah ngga tahan.."
Wah, benar-benar kejutan..! Ana tiba-tiba berubah pikiran. Hal ini tidak akan kusia-siakan. Tanpa bicara lagi, langsung kucium dan kuremas dadanya yang masih tertutup daster. Ana melenguh keenakan karena remasan itu. Kemudian aku melepas remasannya. Kupandangi dadanya di balik dasternya, kupandangi seluruh tubuhnya, kulitnya yang sawo matang. Kemudian aku melepas dasternya karena akan merepotkan saja.
Kini ia polos tanpa satu benang pun menutupi tubuhnya. Kemudian aku membopongnya ke kamar tidurku dan kubaringkan ia di tempat tidur, lalu kuciumi seluruh tubuhnya. Tubuh Ana bergetar hebat, menandakan bahwa dia baru pertama kali ini melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya. Kemudian aku mencium dan menjilat bagian perutnya dan mulai ke bawah dan mulai meraba serta membuka kedua pahanya degan kedua tanganku. Tangan kananku membuka belahan vaginanya sedangkan seluruh bagian mulutku mulai mengolah bibir-bibir vaginanya. Tangan kiriku masih meremas buah dadanya yang sebelah kanan. Aku merasakan adanya cairan yang mulai membasahi permukaan bibir vaginanya. Aku terus menyedot dan menggigit-gigit perlahan labia mayoranya dengan asyik, sedangkan tangan kiriku sekarang meraba-raba klitorisnya dengan cairan pelumas dari lubangnya.
Asyik sekali, karena terlalu keasyikannya, secara tidak sadar, ada dua tangan menjambak rambutku, aku tidak menghentikan aktivitasku. Mulanya kupikir hanya gerakan kenikmatan yang diterimanya secara erotis. Eh, kok tambah lama terasa ada goyangan perlahan di bagian selangkangannya. Begitu pula tanpa kusadari, ada suara-suara nafas tertahan dan jambakan di rambutku bukan lagi jambakan pasif, tetapi mulai membelai dan memegang kupingku. Aku tiba-tiba sadar. Dia benar-benar menikmatinya. Aku termanggu duduk di antara selangkangannya dan melihat ke arah wajahnya.
"Kok.., berhenti Mas..?" suaranya berat perlahan dengan tatapan wajah yang sayu.
"Ehh.. terusin Mas.. hh.. kurang dikit lagi..!" suaranya tertahan.
Aku masih terduduk bingung dan memandangnya dengan pandangan bodoh. Dan yang menjengkelkan, batang kejantananku tidak berkompromi. Dia tegak mengacung, sehingga mencuat di antara kaosku. Kepalanya tampak licin karena cairan bening yang keluar. Sebenarnya batang kejantananku lumayan besar dan panjang, sehingga tampak mencuat tinggi. Tiba-tiba Ana bangun, dan duduk di hadapanku, memandangku dengan sayu. Tiba-tiba tangannya mulai bergerlak ke arah batangku, dan memegang lama sambil tersengal-sengal sehabis melumatnya. Kemudian memandangku perlahan dan meletakkan dirinya telentang di ranjang. Ana berdiri di atas tempat tidur dan berjongkok di depanku. Kemudian dia membuka kedua pahanya dan mengangkat lututnya ke atas sehingga lubangnya terlihat.
Ia meraba permukaan vaginanya sambil perlahan memandangku dan berkata, "Ayo Mas.. masukin..!"
Aku seperti tersihir, antara bingung dan nafsu, menggerakkan diri untuk berlutut di antara kedua pahanya dan memegang kepala batangku yang licin terkena ludahnya dan mengarahkannya ke lubang merah mengkilat itu. Sejenak aku lupa bahwa dia masih belasan tahun, yang kurasakan secara reflek setelah dikenyot habis-habisan olehnya, ialah bahwa ia sudah tidak perawan lagi.
Dan, "Ssleepp.." ketat tetapi tidak begitu menjepit dan tanpa hambatan sama sekali (benar dugaanku). Aku menusukkan seluruh panjang batangku ke dalam lubang itu, dan hebatnya seluruh panjangnya batang kejantananku itu masuk total ke dalamnya serta membiarkannya sejenak merasakan denyutan hangatnya. Ana melenguh agak keras. Aku khawatir juga karena dia akan merasakan sakit di bagian dalam vaginanya. Tetapi karena malaikat nafsu lebih berkuasa, ya sudah aku santai saja dan mulai menarik batangku itu dari dalam lubangnya dan memasukkannya lagi seluruhnya.
Entah karena apa, aku tidak begitu merasakan rasa nikmat yang cepat naik. Memang terasa basah, licin dan enak tetapi, ya lebih karena ini memang sedang bersetubuh. Aku mulai berpraktek dengan berbagai macam cara menusuk dan arah tusukan ke dalam lubang vaginanya. Yang mulai mencemaskanku, Ana sama sekali tidak berusaha menahan suaranya. Ia mulai melenguh dan mengerang keras-keras ketika aku mulai mempercepat gerakanku. Aku antara cemas dan mulai nikmat, tidak peduli lagi. Lagi pula suaranya mulai merangsangku dan ini membuatku menusuk-nusuk dengan gerakan yang cepat dan keras.
"Aaahh.. aayoo Mass.. aaduhh.. cepat Mass..!" pintanya dengan nafsu.
Dia mengangkat kedua tangannya ke atas kepalanya. Bunyi beradunya kemaluan kami mulai terdengar keras, berkecepak-kecepak dan aku mulai merasakan lereng gunung telah kucapai. Tinggal mendaki cepat dan sampai di puncak.
Tiba-tiba Ana menghentikan gerakanku, dan menutup kedua pahanya sehingga terasa ada jepitan yang luar biasa di sekujur batangku. Kemudian dia memandangku sayu. Aku tahu apa yang dimaksudkannya dan mulai menggenjot lagi. Aku menjepitkan kedua betisnya di antara leherku dan bertumpu pada kedua tangan, sedang aku membentuk busur dengan tubuhku, merapatkan kedua pahaku sehingga terasa batangku membesar dan mulai menusuk-nusuknya cepat.
"Aaahh.. ss.." terdengar bunyi-bunyian antara suaranya yang merangsang dan bunyi kecepakan kemaluan kami yang beradu, sedangkan aku sendiri mengeluarkan suara helaan nafas yang cepat.
Beberapa menit kemudian, aku merasakan aliran yang semakin cepat memenuhi pinggul dan seluruh tubuhku. Keringatku telah mengucur deras.
Dan, "Ann.. Annaa.. aadduuhh.. ss.. Ann..!" spermaku menyemprot deras ke arah perutnya. Aku mengerang keras dan terus mengocok batang kemaluanku. Kemudian tanganku yang mulai begerak ke arah vaginanya segera menusuk-nusukannya. Lama aku terus menusuk-nusuk lubangnya karena rasa nikmatnya terus mengalir hingga tidak berapa lama kemudian Anna berkata, "Mass.. aa.. Maass.. sshh.. aadduuhh..!"
Ana menaikkan pelvisnya dan menerima tusukan-tusukan terakhirku dengan denyutan dinding vagina yang terasa cepat dan kenyal. Aku menindih tubuhnya yang kecil dan merasakan detak jantung yang cepat di dadanya dan dengusan nafas hangat di ubun-ubunku. Jariku masih menancap dalam di dalam vaginanya dan merasakan denyutan yang tidak kunjung reda.
Kemudian aku tergeletak di sampingnya, aku berkata kepada Ana, "An.. kamu sekarang mandi saja ya..? Kayaknya kamu bau deh.."
"Sialan.. iya deh, Ana mandi, makasih ya Mas.. Ana udah dikasih pelajaran sama Mas."
"Sama-sama An.."
Aku tidak merasa menyesal karena tidak dapat seperti yang kubayangkan (gadis yang benar-benar perawan). Yah, lumayanlah bisa meraba-raba kan? Ana lalu berdiri hendak menuju ke kamar mandi, sebelum dia pergi dia menoleh ke arahku lalu menunduk dan menciumku sebentar. Aku belaikan tanganku ke dadanya dan V-nya. Dia tersenyum memandangku, lalu bergegas menuju kamar mandi. Saat dia menutup kamar mandi, aku sempat dengar langkah kaki berlari menjauh dari arah pintu ruang tamu. Aku cepat-cepat menuju ruang tamu ingin mengetahui siapa yang baru saja dari sana. Sempat kulihat warna bajunya, biru seperti yang dipakai Reni. "Mungkinkah..?" batinku.
Aku kembali ke ruang TV, sambil menebak-nebak, "Apa iya.. tadi itu si Reni, terus kalau benar, berarti dia tahu dong kita lagi ngapain..? Waduh, terlalu serius sih tadi.. jadinya begini deh."
Kurang lebih 20 menit, Tante dan Reni datang dari pasar, Tante katanya mau masak Sop buntut dan membuat Rujak cingur. Siang jam 12:30, Ana mengajakku untuk makan. Saat makan, Reni kelihatan agak canggung melihatku, pikiranku lalu menghubungkan dengan peristiwa yang tadi kualami.
"Berarti tadi memang benar Reni.." pikirku.
Kami tidak bicara banyak saat di meja makan. Akhirnya sore pun tiba, Omku sudah datang sejak jam 3:00 tadi. Aku lewatkan seharian dengan bermain playstation dengan Ana, sedangkan Reni dari tadi berada di dalam kamarnya. Tidak tahu sedang berbuat apa dia, betah-betahnya di dalam kamar terus. Tante sendiri ke rumah tetangga untuk membantu masak, kebetulan tetangga ada yang sedang punya hajat.
Jam 8:00 malam, aku membaca-baca majalah di ruang tamu. Ana dan Reni di ruang TV sedang nonton HBO, tidak tahu apa film-nya. Tante sudah tidur di kamar belakang, lelah sehabis membantu tetangga. Si Om malam ini mendapat tugas jaga malam. Jam 9:00, Ana ke ruang tamu, dia bicara padaku kalau mau tidur duluan, Reni masih mau nonton TV menunggu opera sabun kegemarannya di HBO kata Ana. Ana suruh aku menemani Reni di ruang TV, soalnya si Reni anaknya sedikit penakut katanya. Jadi aku pindah ke ruang TV, kubawa majalah yang sedang kubaca. Aku rebahkan badanku di sofa panjang di depan TV. Reni sendiri duduk di kursi favoritnya, tanpa sekali pun menengok ke a [17tahun2.com] rahku. Aku teruskan baca artikel yang sempat terputus tadi, sambil sekali-sekali aku melihat ke arah televisi. Aku lihat ke arah jam tanganku, ternyata sudah jam 11:13.
Aku berkata kepada Reni, "Ren.. kamu ngga ngantuk?"
Dia tidak menjawab, kuulangi lagi dua kali baru dia menjawab, "Belum ngantuk kok Mas, lagian film-nya barusan mulai nih."
"Oke.. kalau gitu Mas pergi tidur dulu ya..?"
"Ntar dulu dong Mas, tunggu film-nya abis.. kan Reni takut nonton sendirian, film-nya agak horor nih!" pintanya.
"Sofanya dibuka aja.. jadiin tempat tidur, Mas tidur di situ aja." katanya lagi.
"Emang bisa Ren..? Oke deh Mas coba."
Aku coba deh usul Reni, dan aku akhirnya tidur di sofa yang sudah diubah menjadi tempat tidur itu. Tidak tahu berapa lama aku tertidur di situ, tiba-tiba aku terbangun merasakan tanganku ada yang memegang. Aku buka mataku sedikit-sedikit, terlihat olehku Reni memegang tanganku, digosok-gosokkannya tanganku ke selangkangannya. Terasa olehku bulu-bulu halus di ujung jariku. Kulirik mukanya, dia mendesah amat pelan. Wajahnya menghadap ke arah televisi, aku jadi curiga, jangan-jangan?
Cepat-cepat kukembali ke ruang tamu dan melakdfhygukan rencanaku. Setelah itu, aku kembali lagi ke kamar, hati-hati kuintip ke dalam kamarnya Ana, ternyata dia masih pulas tertidur. Aku berjingkat masuk ke kamarnya, perlahan aku duduk di samping tidurnya. Dia tidurnya mengorok hingga aku mau tertawa waktu itu, tetapi kutahan karena takut dia terbangun. Dengan hanya diterangi lampu baca (kamarnya tidak ada jendelanya), kupandangi wajahnya lama. 5 menit lebih kupandangi dia, semakin lama semakin manis.
"Gila ya, dengan adik sepupu kok seperti itu?" tapi pikirku, "Biarin aja lah, iseng-iseng berhadiah."
Kemudian aku mulai mencoba membelai rambutnya, pelan tetknltapi pasti. Dia tidak bereaksi, dia tidurnya brukut (memakai selimutnya sampai menutupi leher). Aku berusaha membuka selimutnya perlahan, kutarik ke bawah dan dia tetap tidak bereaksi. Kumasukkan tanganku ke dalam selimutnya sambil berusaha mencari payudaranya. Dengan tanpa kesulitan, tanganku sudah memegang payudaranya, tetapi masih terhalang dasternya.
"Eit.. nanti dulu.. ternyata dia ngga pake BH! Berarti semalam dia ngga pake BH-nya lagi dong, wah asik nih.." pikirku.
Lalu kumasukkan tanganku melalui lubang di antara kancing dasternya. Tidak susah juga, tanganku sudah memegang daging empuk dengan tonjolan di puncaknya.
Ana menggeliat, agak keras menggeliatnya, dia terbangun.
"Mampus gua," pikirku.
Dia melotot sambil teriak, "Lepasin dong Mas.. apa-apaan nih Mas?"
Aku gelagapan berusaha mencari alasan, "An.. kamu ngga inget semalem ya?"
"Lupain aja Mas! Ana ngga mau lagi, ngga boleh, entar dosa Mas!"
"Tapi Ana semalem udah ngelakuin dosa lho.. kenapa ngga sekalian aja?" rayuku.
Kali ini dia benar-benar marah. Ana teriak-teriak menyuruhku keluar dari kamarnya. Aku turut saja, untung letak rumahnya berjauhan dengan tetangga, jadi aku tidak takut teriakannya terdengar tetangganya.
Wah.. gagal nih ceritanya.., aku akhirnya hanya meraba-taba batang kemaluanku yang menganggur karena tidak jadi dipakai. Aku duduk di ruang TV lagi. Melihat acara tarian Bangkok, lumayan lah buat obat, melihat penyanyi Thailand yang cantik-cantik. Sebentar kemudian Ana keluar dari kamarnya, dia menuju ke arahku. Aku berusaha tidak peduli, dia lalu duduk di dekatku.
Katanya, "Mas maapin Ana ya? Ana udah bentak-bentak Mas.."
"Ngga papa An.., Mas yang salah." balasku.
"Sebenarnya Ana sayang sama Mas, tapi kita kan masih bersaudara, apalagi nanti kalo ketahuan ama Papa-Mama kan bisa berabe Mas!" jelasnya.
"Ya sudah.. lupain aja An, toh kamu masih muda. Nanti juga pasti ada cowok lain yang lebih pantas buat kamu." lanjutku.
"Iya Mas, Mas.. Ana mau ngasih sesuatu buat Mas."
"Apa An?" tanyaku.
"Liat sini deh Mas.." (dia mulai tidak kaku lagi)
Aku menoleh ke arahnya, tiba-tiba dia mendekatkan bibirnya ke arah bibirku.
"Mmpphh.."
"Plaas!" jantungku spontan berdegup keras, "Kok tau-tau nyium sih?" pikirku, tetapi kunikmati saja, enak sih.
Pertamanya dia hanya mau mengecup saja, tetapi kulingkarkan tanganku di lehernya, dan kudekap dia. Dengan lembut kukecup bibirnya, dia tidak berontak ternyata, aku pererat dekapanku, dada kami sudah saling menempel. Aku merasakan kalau dia masih belum memakai BH-nya. Dengan perlahan kubelai punggungnya, dasternya yang terbuat dari sutera terasa halus sekali, sensasinya justru membuatku jadi semakin ON saja. Coba saja pasangan anda disuruh pakai lingerie yang bahannya sutera, ditanggung kalau diraba pasti enak sekali. Lama kami berciuman dengan posisi itu, akhirnya capai juga aku. Kulepas pelukanku dan mengakhiri ciuman.
Aku berkata pada Ana, "Sini An.. Mas pangku.."
"Ngga ah Mas.. nanti kayak tadi malem deh jadinya..!"
"Percaya deh sama Mas.. ngga sampe ngelakuin yang ngga-ngga kok, okey?"
Dia akhirnya mengalah, mungkin dia masih ada rasa ingin juga, dia juga tahu kalau sekarang kami hanya berdua saja di rumah, So? Why not?. Dia duduk di pangkuanku menghadap TV, tanganku bergerak dengan bebas di dadanya.
Kuraba dadanya sambil berkata, "An.. Ana ngga marah-marah lagi nih?"
"Biarin lah Mas.. udah terlanjur nih, tapi janji ya jangan kebablasen.." pintanya.
"Okey An!"
Dari belakang, sambil tanganku membelai payudaranya, kulihat dia memejamkan matanya menikmati belaian tanganku. Tanganku meraba payudaranya dengan hati-hati, penuh perasaan aku membelainya, aku sendiri memejamkan mataku jadinya. Pelan tapi pasti, tanganku bergerak turun menuju perutnya. Agak dekat dengan V-nya kugunakan kuku jariku yang agak panjang untuk membangkitkan rangsangan di perutnya. Kulirik dia, terlihat dia menahan perutnya dengan membuat kaku daerah itu.
Dia menikmati perbuatanku, perlahan dasternya kutarik ke atas, dia diam saja, ujung dasternya sudah sampai ke pahanya. Sedikit lagi pasti aku bisa meraih celana dalamnya. Akhirnya sampai juga, CD-nya sudah tidak tertutup lagi, sekilas kulihat bercak basah di ujung V-nya. Tanpa berpikir lama, kupindahkan tanganku ke sana, tanganku merasakan memang di daerah itu sudah basah. Kusimpulkan pasti dia sudah terangsang berat. Lalu kuselipkan tanganku ke dalam CD-nya, tetapi dia kali ini menahan tanganku supaya tidak masuk ke sana. Aku urungkan niatku untuk itu, tanganku hanya menggosok-gosok dari luar saja. Kemudian terlihat dia mengeluarkan lenguhan dan badannya menegang, seperti menahan sesuatu. Orgasme rupanya. Lalu badannya melemas lunglai di pelukanku.
Tanganku yang masih berada di selangkangannya merasakan kalau CD-nya bertambah basah. Kemudian Ana memandangiku. Lama kami berpandangan.
Ana kemudian bicara, "Mas, kita lakukan yuk. Ana udah ngga tahan.."
Wah, benar-benar kejutan..! Ana tiba-tiba berubah pikiran. Hal ini tidak akan kusia-siakan. Tanpa bicara lagi, langsung kucium dan kuremas dadanya yang masih tertutup daster. Ana melenguh keenakan karena remasan itu. Kemudian aku melepas remasannya. Kupandangi dadanya di balik dasternya, kupandangi seluruh tubuhnya, kulitnya yang sawo matang. Kemudian aku melepas dasternya karena akan merepotkan saja.
Kini ia polos tanpa satu benang pun menutupi tubuhnya. Kemudian aku membopongnya ke kamar tidurku dan kubaringkan ia di tempat tidur, lalu kuciumi seluruh tubuhnya. Tubuh Ana bergetar hebat, menandakan bahwa dia baru pertama kali ini melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya. Kemudian aku mencium dan menjilat bagian perutnya dan mulai ke bawah dan mulai meraba serta membuka kedua pahanya degan kedua tanganku. Tangan kananku membuka belahan vaginanya sedangkan seluruh bagian mulutku mulai mengolah bibir-bibir vaginanya. Tangan kiriku masih meremas buah dadanya yang sebelah kanan. Aku merasakan adanya cairan yang mulai membasahi permukaan bibir vaginanya. Aku terus menyedot dan menggigit-gigit perlahan labia mayoranya dengan asyik, sedangkan tangan kiriku sekarang meraba-raba klitorisnya dengan cairan pelumas dari lubangnya.
Asyik sekali, karena terlalu keasyikannya, secara tidak sadar, ada dua tangan menjambak rambutku, aku tidak menghentikan aktivitasku. Mulanya kupikir hanya gerakan kenikmatan yang diterimanya secara erotis. Eh, kok tambah lama terasa ada goyangan perlahan di bagian selangkangannya. Begitu pula tanpa kusadari, ada suara-suara nafas tertahan dan jambakan di rambutku bukan lagi jambakan pasif, tetapi mulai membelai dan memegang kupingku. Aku tiba-tiba sadar. Dia benar-benar menikmatinya. Aku termanggu duduk di antara selangkangannya dan melihat ke arah wajahnya.
"Kok.., berhenti Mas..?" suaranya berat perlahan dengan tatapan wajah yang sayu.
"Ehh.. terusin Mas.. hh.. kurang dikit lagi..!" suaranya tertahan.
Aku masih terduduk bingung dan memandangnya dengan pandangan bodoh. Dan yang menjengkelkan, batang kejantananku tidak berkompromi. Dia tegak mengacung, sehingga mencuat di antara kaosku. Kepalanya tampak licin karena cairan bening yang keluar. Sebenarnya batang kejantananku lumayan besar dan panjang, sehingga tampak mencuat tinggi. Tiba-tiba Ana bangun, dan duduk di hadapanku, memandangku dengan sayu. Tiba-tiba tangannya mulai bergerlak ke arah batangku, dan memegang lama sambil tersengal-sengal sehabis melumatnya. Kemudian memandangku perlahan dan meletakkan dirinya telentang di ranjang. Ana berdiri di atas tempat tidur dan berjongkok di depanku. Kemudian dia membuka kedua pahanya dan mengangkat lututnya ke atas sehingga lubangnya terlihat.
Ia meraba permukaan vaginanya sambil perlahan memandangku dan berkata, "Ayo Mas.. masukin..!"
Aku seperti tersihir, antara bingung dan nafsu, menggerakkan diri untuk berlutut di antara kedua pahanya dan memegang kepala batangku yang licin terkena ludahnya dan mengarahkannya ke lubang merah mengkilat itu. Sejenak aku lupa bahwa dia masih belasan tahun, yang kurasakan secara reflek setelah dikenyot habis-habisan olehnya, ialah bahwa ia sudah tidak perawan lagi.
Dan, "Ssleepp.." ketat tetapi tidak begitu menjepit dan tanpa hambatan sama sekali (benar dugaanku). Aku menusukkan seluruh panjang batangku ke dalam lubang itu, dan hebatnya seluruh panjangnya batang kejantananku itu masuk total ke dalamnya serta membiarkannya sejenak merasakan denyutan hangatnya. Ana melenguh agak keras. Aku khawatir juga karena dia akan merasakan sakit di bagian dalam vaginanya. Tetapi karena malaikat nafsu lebih berkuasa, ya sudah aku santai saja dan mulai menarik batangku itu dari dalam lubangnya dan memasukkannya lagi seluruhnya.
Entah karena apa, aku tidak begitu merasakan rasa nikmat yang cepat naik. Memang terasa basah, licin dan enak tetapi, ya lebih karena ini memang sedang bersetubuh. Aku mulai berpraktek dengan berbagai macam cara menusuk dan arah tusukan ke dalam lubang vaginanya. Yang mulai mencemaskanku, Ana sama sekali tidak berusaha menahan suaranya. Ia mulai melenguh dan mengerang keras-keras ketika aku mulai mempercepat gerakanku. Aku antara cemas dan mulai nikmat, tidak peduli lagi. Lagi pula suaranya mulai merangsangku dan ini membuatku menusuk-nusuk dengan gerakan yang cepat dan keras.
"Aaahh.. aayoo Mass.. aaduhh.. cepat Mass..!" pintanya dengan nafsu.
Dia mengangkat kedua tangannya ke atas kepalanya. Bunyi beradunya kemaluan kami mulai terdengar keras, berkecepak-kecepak dan aku mulai merasakan lereng gunung telah kucapai. Tinggal mendaki cepat dan sampai di puncak.
Tiba-tiba Ana menghentikan gerakanku, dan menutup kedua pahanya sehingga terasa ada jepitan yang luar biasa di sekujur batangku. Kemudian dia memandangku sayu. Aku tahu apa yang dimaksudkannya dan mulai menggenjot lagi. Aku menjepitkan kedua betisnya di antara leherku dan bertumpu pada kedua tangan, sedang aku membentuk busur dengan tubuhku, merapatkan kedua pahaku sehingga terasa batangku membesar dan mulai menusuk-nusuknya cepat.
"Aaahh.. ss.." terdengar bunyi-bunyian antara suaranya yang merangsang dan bunyi kecepakan kemaluan kami yang beradu, sedangkan aku sendiri mengeluarkan suara helaan nafas yang cepat.
Beberapa menit kemudian, aku merasakan aliran yang semakin cepat memenuhi pinggul dan seluruh tubuhku. Keringatku telah mengucur deras.
Dan, "Ann.. Annaa.. aadduuhh.. ss.. Ann..!" spermaku menyemprot deras ke arah perutnya. Aku mengerang keras dan terus mengocok batang kemaluanku. Kemudian tanganku yang mulai begerak ke arah vaginanya segera menusuk-nusukannya. Lama aku terus menusuk-nusuk lubangnya karena rasa nikmatnya terus mengalir hingga tidak berapa lama kemudian Anna berkata, "Mass.. aa.. Maass.. sshh.. aadduuhh..!"
Ana menaikkan pelvisnya dan menerima tusukan-tusukan terakhirku dengan denyutan dinding vagina yang terasa cepat dan kenyal. Aku menindih tubuhnya yang kecil dan merasakan detak jantung yang cepat di dadanya dan dengusan nafas hangat di ubun-ubunku. Jariku masih menancap dalam di dalam vaginanya dan merasakan denyutan yang tidak kunjung reda.
Kemudian aku tergeletak di sampingnya, aku berkata kepada Ana, "An.. kamu sekarang mandi saja ya..? Kayaknya kamu bau deh.."
"Sialan.. iya deh, Ana mandi, makasih ya Mas.. Ana udah dikasih pelajaran sama Mas."
"Sama-sama An.."
Aku tidak merasa menyesal karena tidak dapat seperti yang kubayangkan (gadis yang benar-benar perawan). Yah, lumayanlah bisa meraba-raba kan? Ana lalu berdiri hendak menuju ke kamar mandi, sebelum dia pergi dia menoleh ke arahku lalu menunduk dan menciumku sebentar. Aku belaikan tanganku ke dadanya dan V-nya. Dia tersenyum memandangku, lalu bergegas menuju kamar mandi. Saat dia menutup kamar mandi, aku sempat dengar langkah kaki berlari menjauh dari arah pintu ruang tamu. Aku cepat-cepat menuju ruang tamu ingin mengetahui siapa yang baru saja dari sana. Sempat kulihat warna bajunya, biru seperti yang dipakai Reni. "Mungkinkah..?" batinku.
Aku kembali ke ruang TV, sambil menebak-nebak, "Apa iya.. tadi itu si Reni, terus kalau benar, berarti dia tahu dong kita lagi ngapain..? Waduh, terlalu serius sih tadi.. jadinya begini deh."
Kurang lebih 20 menit, Tante dan Reni datang dari pasar, Tante katanya mau masak Sop buntut dan membuat Rujak cingur. Siang jam 12:30, Ana mengajakku untuk makan. Saat makan, Reni kelihatan agak canggung melihatku, pikiranku lalu menghubungkan dengan peristiwa yang tadi kualami.
"Berarti tadi memang benar Reni.." pikirku.
Kami tidak bicara banyak saat di meja makan. Akhirnya sore pun tiba, Omku sudah datang sejak jam 3:00 tadi. Aku lewatkan seharian dengan bermain playstation dengan Ana, sedangkan Reni dari tadi berada di dalam kamarnya. Tidak tahu sedang berbuat apa dia, betah-betahnya di dalam kamar terus. Tante sendiri ke rumah tetangga untuk membantu masak, kebetulan tetangga ada yang sedang punya hajat.
Jam 8:00 malam, aku membaca-baca majalah di ruang tamu. Ana dan Reni di ruang TV sedang nonton HBO, tidak tahu apa film-nya. Tante sudah tidur di kamar belakang, lelah sehabis membantu tetangga. Si Om malam ini mendapat tugas jaga malam. Jam 9:00, Ana ke ruang tamu, dia bicara padaku kalau mau tidur duluan, Reni masih mau nonton TV menunggu opera sabun kegemarannya di HBO kata Ana. Ana suruh aku menemani Reni di ruang TV, soalnya si Reni anaknya sedikit penakut katanya. Jadi aku pindah ke ruang TV, kubawa majalah yang sedang kubaca. Aku rebahkan badanku di sofa panjang di depan TV. Reni sendiri duduk di kursi favoritnya, tanpa sekali pun menengok ke a [17tahun2.com] rahku. Aku teruskan baca artikel yang sempat terputus tadi, sambil sekali-sekali aku melihat ke arah televisi. Aku lihat ke arah jam tanganku, ternyata sudah jam 11:13.
Aku berkata kepada Reni, "Ren.. kamu ngga ngantuk?"
Dia tidak menjawab, kuulangi lagi dua kali baru dia menjawab, "Belum ngantuk kok Mas, lagian film-nya barusan mulai nih."
"Oke.. kalau gitu Mas pergi tidur dulu ya..?"
"Ntar dulu dong Mas, tunggu film-nya abis.. kan Reni takut nonton sendirian, film-nya agak horor nih!" pintanya.
"Sofanya dibuka aja.. jadiin tempat tidur, Mas tidur di situ aja." katanya lagi.
"Emang bisa Ren..? Oke deh Mas coba."
Aku coba deh usul Reni, dan aku akhirnya tidur di sofa yang sudah diubah menjadi tempat tidur itu. Tidak tahu berapa lama aku tertidur di situ, tiba-tiba aku terbangun merasakan tanganku ada yang memegang. Aku buka mataku sedikit-sedikit, terlihat olehku Reni memegang tanganku, digosok-gosokkannya tanganku ke selangkangannya. Terasa olehku bulu-bulu halus di ujung jariku. Kulirik mukanya, dia mendesah amat pelan. Wajahnya menghadap ke arah televisi, aku jadi curiga, jangan-jangan?
Aku lalu mencoba melihat ke layar televisi, ternyata di sana terlihat film-nya sudah bukan HBO lagi. Kesimpulanku, si Reni ternyata suka nonton sampai malam berarti hanya untuk menyetel VCD porno. Wow! berarti ka kaknya kalah dong sama adiknya. Perlu diketahui, jarak umur antara Ana dengan Reni hanya 1 tahun lebih sed ikit, apalagi Reni anaknya agak bongsor, tingginya sepundakku, tidak begitu gemuk tetapi cukup berisi. Sin gkat kata, aku beruntung kali ini, karena mendapat daun muda nih. Perlahan, tanganku yang masih bebas beru saha melorotkan celana dalamku ke bawah. Sementara Reni masih asyik dengan kegiatannya yang semakin lama s emakin menjadi, dia seperti terobsesi dengan film dari VCD tersebut. Lenguhannya kadang-kadang terdengar k eras.
Lalu perlahan-lahan tanganku yang dia pegang kutarik ke arah kemaluanku. Setelah dekat, tanganku yang satunya dengan cepat kurangkulkan ke pinggangnya dan menariknya ke atas tubuhku. Dia kaget sekali, ha mpir dia berontak, tetapi selanjutnya dia justru memegang batang kejantananku dan mulai mengocok-ngocok de ngan lembut. Aku pun lalu mengimbanginya, kuubah posisiku agar lebih enak dengan bersandar ke belakang, ke sandaran sofa. Dia menoleh ke arahku, terlihat wajahnya yang khas ABG, mengingatkanku kepada cewek-cewek yang suka nongkrong di mall-mall. Posisi tubuh kami akhirnya saling berhadapan, dia menggesekkan tubuhnya naik turun. Payudaranya ditempelkan ke dadaku. Nafasnya terdengar keras, khas orang yang sedang terangsang berat, "Sshhsshhsshhss.." seperti itu deh kalau tidak salah.
T-shirtnya yang gombrong mulai basah terk ena keringatnya, memang malam itu udara terasa sangat panas, aku sendiri juga merasa kepanasan. Aku peluk dia, tanganku kutelusupkan ke dalam t-shirtnya dari belakang, sedangkan bibirku tidak tinggal diam begitu saja, kucium belakang kupingnya dengan pelan, kuhembuskan nafas secara perlahan ke daun telinganya. Terasa olehku Reni semakin menggila, terasa dari gerakan tubuhnya yang turun naik dengan cepat, digesekkannya da danya ke dadaku, juga selangkangannya dia gesek-gesekkan ke kemaluanku dengan bernafsu. Tanganku yang bera da di punggungnya, akhirnya kugeser ke pantatnya, dari atas punggung kugerakkan ke bawah, masuk ke celanan ya sebelum sampai ke pantat. Kuputar ke samping dengan agak cepat, lalu kuteruskan ke pinggang mencari cel ana dalamnya, kuraba dari luar celana dalamnya, pantatnya yang empuk kuremas dengan gemas. Aku menyesuaika n dengan irama gerakannya yang maju mundur. Kontan dia makin menggila, tangannya naik ke atas, rambutnya m enyuguhkan gerakan yang erotis sekali. Dia berusaha menanggalkan t-shirtnya.
Setelah t-shirtnya lepas, dia pegang kepalaku, menariknya ke arahnya dan melumat bibirku dengan sangat bernafsu. Reni tidak memakai BH, payudaranya yang berukuran lumayan besar terlihat mengkilat karena basah oleh keringat. Aku menjilat-j ilat payudaranya, kukulum putingnya yang kecil dan tidak begitu menonjol.
Dia berteriak pelan, "Mas..!"
Aku lalu berpindah ke bibirnya yang mungil, kulumat dengan bernafsu bibirnya itu. Dia mendesah keenakan, a khirnya dia tidak tahan lagi.
"Ayo Mas, kayak yang di VCD itu lho Mas.." pintanya.
Kujawab, "Yang gimana Ren..?"
"Cepetan dong Mas.. Reni udah ngga tahan nih.."
"Emang Reni udah pernah..?"
"Belum Mas.. makan ya Reni pengen coba, cepetan dong Mas.."
Kami lalu berdiri berhadapan, aku melepas pakaian yang melekat di tubuhku, dia begitu juga melepas semua pakaian di tubuhnya. Dengan bernafsu dia pegang batang kemaluan ku untuk dikocok-kocok, sensasinya, wuah! Tidak tergambarkan. Dipegang oleh anak baru umur 18 tahun! Lalu sebentar kemudian, dia melepas batang kemaluanku dan membalikkan tubuhnya, berpegangan pada lemari buku. P osisinya sekarang agak menungging membelakangiku, pantatnya yang belum begitu besar terlihat kenyal. Dari belakang, aku melihat kemaluannya sudah merekah, ada daging yang keluar dari kemaluannya, entah apa itu na manya. Mungkin itu kli yang dinamakan clitoris. Tetapi pemandangan itu menjadikan batang kejantananku menj adi berdenyut-denyut ingin merasakannya.
Kudekati dia, kugesek-gesekkan kepala senjataku ke daging yang menyembul keluar itu. Tangan Reni dengan tergesa-gesa menarik batang kejantananku untuk segera dimasukkan ke dalam liang kemaluannya. Terasa agak sulit untuk memasukinya, kutusukkan dengan keras karena aku sudah sangat bernafsu. Aku melihat ke arah wajahnya. Pandangannya ternyata ke arah layar televisi, sambil sesek ali bibirnya mengeluarkan desahan-desahan merangsang.
"Gila!" pikirku, "Dia ternyata maniak sama VCD porn o."
Aku tingkatkan kecepatanku dalam menggoyang. Lama-lama aku merasa pinggangku capek, dan aku coba meng arahkan dia untuk mengganti posisi classic, aku tiduran dan dia yang di atasku. Dia menurut. Sambil memega ng pantatnya, aku tiduran dan menikmati goyangannya. Badannya terlihat mungil bila dibandingkan dengan tub uhku, suara desahannya terdengar melengking lirih di telingaku.
Pada puncak kenikmatannya, dia melengku ngkan tubuhnya ke belakang, tangannya menahan berat badan tubuhnya dengan gemetar. Rasa hangat yang terasa oleh batang kejantananku menjadi bertambah seiring dengan tercapainya puncak kenikmatannya. Sedangkan aku sendiri belum merasakan puncak. Reni merangkulku dengan lemas. Setelah itu, dia berbisik ke kupingku.
"M akasih ya Mas, Mas telah memberi Reni melebihi dari Mbak Ana.."
"Jreng! Terkuaklah kebenaran peristiwa si ang tadi, ternyata memang benar. Reni telah melihatku bermesraan dengan kakaknya." daliam hatiku.
"Loh, j adi tadi Reni ngelihat Mas padi gituan sama Mbak Ana to?"
"Heeh Mas.. Reni kepingin, lagian Reni sering n geliat di VCD. Kayaknya enak banget deh Mas.. dan ternyata memang bener."
"Oke deh, tapi Mas Padi belom s ampai puncak nih.. gimana dong? Kan kasihan Reni udah capek."
"Begini aja Mas.. dari tadi siang emang R eni udah merencanakan ini, gini rencana Reni, tadi waktu Reni ngeliat Mas sama Mbak Ana gituan, sebenarnya Reni mo ngambil Dompet Mama yang ketinggalan. Trus Reni punya rencana, Reni beli CTM (obat tidur) buat di kasih ke minuman Mama ama Mbak Ana, nah.. tadi Mbak Ana sama Mama udah minum obatnya (dicampur sama teh) m asing-masing 3 butir.. hehehe."
"Terus gimana dong?" sahutku.
"Sekarang Mbak Ana kan pasti pules banget tidurnya, diapa-apain pasti ngga bangun deh. Kan tempat tidur sebelahnya lagi kosong.."
"Heh!" aku sponta n tahu apa yang dimaksudkannya, "Sip deh! Oke Ren! Sekarang kita pindah aja ke kamarmu.."
"Ayo..!"
Kem udian kami berdua berdiri dan menuju ke arah kamar Ana. Memang benar Ana tertidur lelap. Hanya iseng saja, aku membuka dasternya dan menyentuh kewanitaannya Ana dan memasukkan jari telunjuk dan tengah. Ternyata m emang tidak bangun! Hanya saja dia mengeluarkan sedikit lenguhan-lenguhan nikmat yang dia rasakan. Kemudia n aku mulai memainkan vaginanya sampai basah. Tetap saja Ana tidak bangun sama sekali.
"Mas, udah dong. K ok malah Mbak Ana yang dimaenin. Giliran Reni doong.." keluh Reni karena sudah terbalut nafsu yang tinggi.
Padahal tadi sudah puas. Lagipula aku juga sudah bernafsu karena tadi dalam permainan pertama belum sele sai.
Kemudian aku melepaskan jilatan pada vagina Ana dan berpaling ke Reni ysng sudah mulai memuncak na fsunya. Kemudian aku mulai naik ke atas ranjang dan menidurkan Reni. Secara intense, kami pun mulai paguta n. Tetapi ketika kami berciuman, beda sekali dengan yang pertama. Seperti disirap, kucium pipinya, mulutny a, berhenti lama di situ. Mulut kami berpagut seperti memecah ribuan rindu. Lidah kami bermain di sana. Ti dak lama kemudian, kuturunkan lidahku ke arah lehernya, dia menggelinjang, matanya terpejam, tangannya ber gidik seperti menahan gelombang perasaannya sendiri. Ketika putingnya kuraba, dia mulai melenguh. Dengan g erakan halus, aku mulai meremas-remas sehingga Reni merasa keenakan. Sementara bibirku sudah beralih, tida k lagi di bibirnya tetapi sudah menjilati telinga, dan lehernya.
Karena buah dadanya sudah terbuka, mul utku pun bergeser ke puting susunya yang sudah menegang. Ketika kumainkan dengan lidahku, lenguhannya sema kin panjang. Tangan kananku pindah ke arah vaginanya dan mulai meremasnya. Sambil memainkan klitorisnya, a ku terus menjilati kedua payudaranya. Ketika aku merasakan kemaluannya sudah sangat basah, aku mulai berna fsu untuk melakukan foreplay yang lebih lama. Tidak lama kemudian, mulutku menjilat ke arah perut, pinggan g dan sasaran terakhir adalah klitorisnya yang merah. Karena tidak tahan, Reni berontak dan ingin merubah posisi.
"Ren, duduk di depan mukaku.." pintaku sambil menolongnya berpindah posisi.
Dia pun kemudian dud uk dan menempatkan liang kenikmatannya tepat di wajahku. Lidah dan mulutku kembali memberikan kenikmatan b aginya. Responnya mengejutnya.
"Aughh.." setengah berteriak dan kedua tangannya meremas buah dadanya. Kuh isap dan kujilati terus, semakin basah liang kenikmatannya.
Tiba-tiba Reni berteriak, keras sekali, "Aa hh.. ahh," matanya terpejam dan pinggulnya bergerak-gerak di wajahku.
"Aku.. keluar," sambil terus menggo yangkan pinggulnya dan tubuhnya seperti tersentak-sentak.
Mungkin inilah orgasme wanita yang paling jelas kulihat. Dan tiba-tiba, keluar cairan membanjir dari liang kenikmatannya. Ini bisa kurasakan dengan jelas , karena mulutku masih menciumi dan menjilatinya.
"Aduh.. Mass.. enak banget. Lemes deh." katanya. Dia terkulai menindihku.
"Enak?", tanyaku.
"Enak banget, kamu pinter yah. Ngga pernah lho aku klimaks kayak tadi."
"Akh, yang bener..? Kamu kan tadi udah ngerasain." kataku mengingatkan pada permainan pertama kami ."
"Tapi, uuhh.. lebih enak yang ini.."
Ternyata Reni masih menikmati sisa-sisa klimaksnya. Tetapi karen a belum puas, langsung saja kujilat kembali liang kemaluannya. Semakin lama semakin asyik dan sangat enak, dan dia pun merintih-rintih kecil.
"Mass.. nakal ahh.. kok.. akkhh.. dimaenin lagi.. ouuchh.. siich.. uw uuhh oo.. sstt akhs.. akhs.. akhs.. oohh aahh.. sstth," sambil tubuhnya agak bergerak tidak karuan, mungki n jilatanku tidak seberapa tetapi kulihat dia sedang keasyikan menikmati jilatanku.
Lalu dia berdiri da n menarik tubuhku ke lantai. Di situ kami berciuman lagi, entah kenapa aku merasakan sesuatu yang hangat d i sekitar liang kemaluannya, kuingin batang kemaluanku dimasukkannya ke lubang kemaluannya. Soalnya aku ma sih ragu. Walaupun tadi sih berani. Tetapi takut si Ana bangun. Kemudian aku memberanikan untuk bicara.
" Ren, aku masukin lagi yaa.. Tadi kan belum puass.."
Reni tidak menjawab. Dia hanya merintih keenakan. Kar ena malas bermain sambil berdiri, aku mendorong Reni hingga tertindih oleh badanku. Reni mengerang keras k arena vagina tertindih oleh adikku yang sudah menegang tinggi. Kemudian mulai lagi kugerakkan tanganku men cakar halus pinggangnya sampai ke payudaranya. Reni meremas kedua tanganku, menahan geli yang ditimbulkann ya.
"Ssshh.. sshh!" Reni mendesis berkali-kali menahan kenikmatan itu.
Kembali aku memainkan klitorisn ya dengan tanganku, sementara kujilati kedua pahanya.
"Aaahh.. sshh," Reni mengerang lirih.
Aku menikmat i aroma kewanitaannya yang semerbak bersamaan keluarnya cairan dari liang kemaluannya. Kubenamkan wajahku ke liang kemaluannya sambil menjilati bibir kemaluannya. Klitorisnya yang berwarna merah jambu kukulum sam bil kumainkan dengan lidahku. Tubuh Reni menggelinjang bergetar.
"Uuuhffss.. aahh!" Reni menjerit menahan kenikmatan sambil tangannya menggenggam tepi ranjang.
Kurasakan cairan kemaluannya deras mengalir dan ku hisap dengan penuh kepuasan.
"Mass.. masukin sekarang.. aku ngga tahan nih.." Reni lirih memohonku untu k segera memasuki tubuhnya.
Aku segera menempatkan tubuhku di atas tubuhnya yang ramping, seksi serta ken cang itu. Berdesir darahku melihat Reni terbaring polos telanjang. Ini bukan kesekian kalinya aku mengagum inya. Badan Reni kurus tetapi kencang dan atletis seperti pelari sprinter tetapi untungnya tidak sampai be rotot.
"Maass.. cepat doong.. aakkhh.. ngga tahan nih.."
"Ok, tenang aja.."
Sejenak sempat kudengar R eni mendesis saat meraih kemaluanku.
"Uuu.. besar dan kuat.." ujarnya setengah berbisik seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Begitu ujung kepala batang kejantananku menempel di bibir kewanitaannya, kurasakan getaran listrik yang mulai menjalar di seluruh tubuhku. Lalu perlahan kudorongkan ke dalam liang kemaluan nya.
"Uuhhss.. yess, Mass.. uuffssh," Reni mengerang sambil mendongakkan kepalanya.
Dengan satu dorongan berikutnya, batang kemaluanku sudah masuk secara penuh ke dalam liang kenikmatan Reni yang hangat dan teb al. Reni mengalungkan kedua tangannya di leherku dan kedua kakinya melingkar di pinggangku.
Aku mulai g erakan memompa liang kemaluannya.
"Yess.. uff Maas.." Reni menjerit halus sambil memejamkan matanya.
Ger akanku semakin lama semakin cepat dengan tekanan yang semakin kuat menerobos kedalaman liang kemaluan Reni yang merespon dengan berdenyut-denyut seperti memijit batang kemaluanku.
Tiba-tiba Reni membuka matanya dan berbisik lirih, "Mas ganti posisi.. aku mau nih keluar nih.."
Kami segera ganti posisi, badan Reni me mbalik dalam posisi menungging (doggy style). Katanya dia biasa orgasme dalam posisi ini.
Aku menuruti permintaan Reni yang jelas dalam posisi ini aku jadi bisa melihat postur Reni lebih lengkap. Biarpun Reni ramping, tetapi dia memiliki pantat yang padat dan berisi sehingga dengan pinggangnya yang ramping makin m embuat pantatnya montok. Aku segera mengarahkan batang kemaluanku kembali, kali ini penetrasi dari belakan g.
"Srrt.." makin lancar penetrasiku kali ini soalnya bagian luar liang kemaluan Reni makin basah.
Reni menggenggam pegangan ranjang degan kedua tangannya. Aku menciumi lehernya dari belakang sambil kadang-kada ng menggigit pundaknya. Ternyata Reni sangat aktif dalam posisi ini. Dia semakin aktif bergerak, selain me ngikuti gerakan maju mundurku, pinggulnya pun bergoyang mengocok batang kemaluanku.
"Reni.. pinggul kam u hebat banget," aku berbisik terengah-engah.
Reni menjawabnya dengan erangan-erangan, dia menoleh kepada ku sambil menggigit bibir bawahnya. Terlihat peluh membasahi wajahnya yang makin memerah.
Sesaat kemudian dia berbisik kepadaku, "Ouuchh.. sayang.. lebih cepat!" suaranya diikuti deru nafas yang memburu. Rupanya dia sudah semakin mendekati klimaks.
Aku pun meresponnya dengan gerakan yang lebih cepat dan keras. Kutu sukkan batang kemaluanku makin dalam ke liang kemaluannya seiring perasaan klimaks yang sudah di ambang.
"Aaahh Uuuh Sssh.. teruus Mas.. ahh.." Reni menjerit sambil bergerak makin liar sampai ranjangnya berderik -derik.
Kuteruskan gerakanku dengan mengerahkan sekuat tenaga mengimbangi gerakan liar Reni.
Ana masih tidur ketika Reni tiba-tiba menjerit, "Aaah.. uuhhffsshh.. Mass.." kepalanya mendongak, tubuhnya bergetar hebat dan kurasakan semburan hangat dari liang kewanitaannya merembes sampai ke buah kemaluanku.
Aku pun melepaskan jutaan spermaku menyemprot kencang memenuhi karet kondom yang kupakai.
"Uuu.. yess.." Reni me ngakhiri gelombang kenikmatan dan mengerang sambil menikmati sisa-sisa orgasmenya.
"Ouuhh.. Mass, kamu he bat sekali.. aahh.."
Mungkin bisa dibilang ini adalah permainan terbaikku dibandingkan dengan Ana. Kemudi an kami pun sempat tertidur berpelukan di kamar Ana.
Jam 5 pagi Reni balik ke kamarnya dan aku pun tidu r di kamarku sendiri. Pukul 10:00, aku bangun dan mempersiapkan diri untuk kembali pulang ke kotaku. Aku d iantar Om ke terminal bus, aku tidak sempat pamit dengan Ana dan Reni karena mereka belum bangun. Reni kel elahan karena habis bertempur denganku sepanjang malam, sedang Ana masih terpengaruh CTM. Tante sendiri be lum bangun juga. Si Reni memang gila seks. Hari itu hari Kamis, jadwalku adalah harus berobat ke dokter sp esialisku. Tetapi sial, di jalan perutku terasa sakit, sepertinya diare. Aku terpaksa turun di jalan dan m encari restoran terdekat untuk buang hajat. Sampai di rumahku pukul 8 malam dan itu berarti aku tidak jadi ke dokter. Tetapi aku tetap tersenyum simpul, kalau mengingat baru saja aku mendapatkan dua perawan ting- ting.
Lalu perlahan-lahan tanganku yang dia pegang kutarik ke arah kemaluanku. Setelah dekat, tanganku yang satunya dengan cepat kurangkulkan ke pinggangnya dan menariknya ke atas tubuhku. Dia kaget sekali, ha mpir dia berontak, tetapi selanjutnya dia justru memegang batang kejantananku dan mulai mengocok-ngocok de ngan lembut. Aku pun lalu mengimbanginya, kuubah posisiku agar lebih enak dengan bersandar ke belakang, ke sandaran sofa. Dia menoleh ke arahku, terlihat wajahnya yang khas ABG, mengingatkanku kepada cewek-cewek yang suka nongkrong di mall-mall. Posisi tubuh kami akhirnya saling berhadapan, dia menggesekkan tubuhnya naik turun. Payudaranya ditempelkan ke dadaku. Nafasnya terdengar keras, khas orang yang sedang terangsang berat, "Sshhsshhsshhss.." seperti itu deh kalau tidak salah.
T-shirtnya yang gombrong mulai basah terk ena keringatnya, memang malam itu udara terasa sangat panas, aku sendiri juga merasa kepanasan. Aku peluk dia, tanganku kutelusupkan ke dalam t-shirtnya dari belakang, sedangkan bibirku tidak tinggal diam begitu saja, kucium belakang kupingnya dengan pelan, kuhembuskan nafas secara perlahan ke daun telinganya. Terasa olehku Reni semakin menggila, terasa dari gerakan tubuhnya yang turun naik dengan cepat, digesekkannya da danya ke dadaku, juga selangkangannya dia gesek-gesekkan ke kemaluanku dengan bernafsu. Tanganku yang bera da di punggungnya, akhirnya kugeser ke pantatnya, dari atas punggung kugerakkan ke bawah, masuk ke celanan ya sebelum sampai ke pantat. Kuputar ke samping dengan agak cepat, lalu kuteruskan ke pinggang mencari cel ana dalamnya, kuraba dari luar celana dalamnya, pantatnya yang empuk kuremas dengan gemas. Aku menyesuaika n dengan irama gerakannya yang maju mundur. Kontan dia makin menggila, tangannya naik ke atas, rambutnya m enyuguhkan gerakan yang erotis sekali. Dia berusaha menanggalkan t-shirtnya.
Setelah t-shirtnya lepas, dia pegang kepalaku, menariknya ke arahnya dan melumat bibirku dengan sangat bernafsu. Reni tidak memakai BH, payudaranya yang berukuran lumayan besar terlihat mengkilat karena basah oleh keringat. Aku menjilat-j ilat payudaranya, kukulum putingnya yang kecil dan tidak begitu menonjol.
Dia berteriak pelan, "Mas..!"
Aku lalu berpindah ke bibirnya yang mungil, kulumat dengan bernafsu bibirnya itu. Dia mendesah keenakan, a khirnya dia tidak tahan lagi.
"Ayo Mas, kayak yang di VCD itu lho Mas.." pintanya.
Kujawab, "Yang gimana Ren..?"
"Cepetan dong Mas.. Reni udah ngga tahan nih.."
"Emang Reni udah pernah..?"
"Belum Mas.. makan ya Reni pengen coba, cepetan dong Mas.."
Kami lalu berdiri berhadapan, aku melepas pakaian yang melekat di tubuhku, dia begitu juga melepas semua pakaian di tubuhnya. Dengan bernafsu dia pegang batang kemaluan ku untuk dikocok-kocok, sensasinya, wuah! Tidak tergambarkan. Dipegang oleh anak baru umur 18 tahun! Lalu sebentar kemudian, dia melepas batang kemaluanku dan membalikkan tubuhnya, berpegangan pada lemari buku. P osisinya sekarang agak menungging membelakangiku, pantatnya yang belum begitu besar terlihat kenyal. Dari belakang, aku melihat kemaluannya sudah merekah, ada daging yang keluar dari kemaluannya, entah apa itu na manya. Mungkin itu kli yang dinamakan clitoris. Tetapi pemandangan itu menjadikan batang kejantananku menj adi berdenyut-denyut ingin merasakannya.
Kudekati dia, kugesek-gesekkan kepala senjataku ke daging yang menyembul keluar itu. Tangan Reni dengan tergesa-gesa menarik batang kejantananku untuk segera dimasukkan ke dalam liang kemaluannya. Terasa agak sulit untuk memasukinya, kutusukkan dengan keras karena aku sudah sangat bernafsu. Aku melihat ke arah wajahnya. Pandangannya ternyata ke arah layar televisi, sambil sesek ali bibirnya mengeluarkan desahan-desahan merangsang.
"Gila!" pikirku, "Dia ternyata maniak sama VCD porn o."
Aku tingkatkan kecepatanku dalam menggoyang. Lama-lama aku merasa pinggangku capek, dan aku coba meng arahkan dia untuk mengganti posisi classic, aku tiduran dan dia yang di atasku. Dia menurut. Sambil memega ng pantatnya, aku tiduran dan menikmati goyangannya. Badannya terlihat mungil bila dibandingkan dengan tub uhku, suara desahannya terdengar melengking lirih di telingaku.
Pada puncak kenikmatannya, dia melengku ngkan tubuhnya ke belakang, tangannya menahan berat badan tubuhnya dengan gemetar. Rasa hangat yang terasa oleh batang kejantananku menjadi bertambah seiring dengan tercapainya puncak kenikmatannya. Sedangkan aku sendiri belum merasakan puncak. Reni merangkulku dengan lemas. Setelah itu, dia berbisik ke kupingku.
"M akasih ya Mas, Mas telah memberi Reni melebihi dari Mbak Ana.."
"Jreng! Terkuaklah kebenaran peristiwa si ang tadi, ternyata memang benar. Reni telah melihatku bermesraan dengan kakaknya." daliam hatiku.
"Loh, j adi tadi Reni ngelihat Mas padi gituan sama Mbak Ana to?"
"Heeh Mas.. Reni kepingin, lagian Reni sering n geliat di VCD. Kayaknya enak banget deh Mas.. dan ternyata memang bener."
"Oke deh, tapi Mas Padi belom s ampai puncak nih.. gimana dong? Kan kasihan Reni udah capek."
"Begini aja Mas.. dari tadi siang emang R eni udah merencanakan ini, gini rencana Reni, tadi waktu Reni ngeliat Mas sama Mbak Ana gituan, sebenarnya Reni mo ngambil Dompet Mama yang ketinggalan. Trus Reni punya rencana, Reni beli CTM (obat tidur) buat di kasih ke minuman Mama ama Mbak Ana, nah.. tadi Mbak Ana sama Mama udah minum obatnya (dicampur sama teh) m asing-masing 3 butir.. hehehe."
"Terus gimana dong?" sahutku.
"Sekarang Mbak Ana kan pasti pules banget tidurnya, diapa-apain pasti ngga bangun deh. Kan tempat tidur sebelahnya lagi kosong.."
"Heh!" aku sponta n tahu apa yang dimaksudkannya, "Sip deh! Oke Ren! Sekarang kita pindah aja ke kamarmu.."
"Ayo..!"
Kem udian kami berdua berdiri dan menuju ke arah kamar Ana. Memang benar Ana tertidur lelap. Hanya iseng saja, aku membuka dasternya dan menyentuh kewanitaannya Ana dan memasukkan jari telunjuk dan tengah. Ternyata m emang tidak bangun! Hanya saja dia mengeluarkan sedikit lenguhan-lenguhan nikmat yang dia rasakan. Kemudia n aku mulai memainkan vaginanya sampai basah. Tetap saja Ana tidak bangun sama sekali.
"Mas, udah dong. K ok malah Mbak Ana yang dimaenin. Giliran Reni doong.." keluh Reni karena sudah terbalut nafsu yang tinggi.
Padahal tadi sudah puas. Lagipula aku juga sudah bernafsu karena tadi dalam permainan pertama belum sele sai.
Kemudian aku melepaskan jilatan pada vagina Ana dan berpaling ke Reni ysng sudah mulai memuncak na fsunya. Kemudian aku mulai naik ke atas ranjang dan menidurkan Reni. Secara intense, kami pun mulai paguta n. Tetapi ketika kami berciuman, beda sekali dengan yang pertama. Seperti disirap, kucium pipinya, mulutny a, berhenti lama di situ. Mulut kami berpagut seperti memecah ribuan rindu. Lidah kami bermain di sana. Ti dak lama kemudian, kuturunkan lidahku ke arah lehernya, dia menggelinjang, matanya terpejam, tangannya ber gidik seperti menahan gelombang perasaannya sendiri. Ketika putingnya kuraba, dia mulai melenguh. Dengan g erakan halus, aku mulai meremas-remas sehingga Reni merasa keenakan. Sementara bibirku sudah beralih, tida k lagi di bibirnya tetapi sudah menjilati telinga, dan lehernya.
Karena buah dadanya sudah terbuka, mul utku pun bergeser ke puting susunya yang sudah menegang. Ketika kumainkan dengan lidahku, lenguhannya sema kin panjang. Tangan kananku pindah ke arah vaginanya dan mulai meremasnya. Sambil memainkan klitorisnya, a ku terus menjilati kedua payudaranya. Ketika aku merasakan kemaluannya sudah sangat basah, aku mulai berna fsu untuk melakukan foreplay yang lebih lama. Tidak lama kemudian, mulutku menjilat ke arah perut, pinggan g dan sasaran terakhir adalah klitorisnya yang merah. Karena tidak tahan, Reni berontak dan ingin merubah posisi.
"Ren, duduk di depan mukaku.." pintaku sambil menolongnya berpindah posisi.
Dia pun kemudian dud uk dan menempatkan liang kenikmatannya tepat di wajahku. Lidah dan mulutku kembali memberikan kenikmatan b aginya. Responnya mengejutnya.
"Aughh.." setengah berteriak dan kedua tangannya meremas buah dadanya. Kuh isap dan kujilati terus, semakin basah liang kenikmatannya.
Tiba-tiba Reni berteriak, keras sekali, "Aa hh.. ahh," matanya terpejam dan pinggulnya bergerak-gerak di wajahku.
"Aku.. keluar," sambil terus menggo yangkan pinggulnya dan tubuhnya seperti tersentak-sentak.
Mungkin inilah orgasme wanita yang paling jelas kulihat. Dan tiba-tiba, keluar cairan membanjir dari liang kenikmatannya. Ini bisa kurasakan dengan jelas , karena mulutku masih menciumi dan menjilatinya.
"Aduh.. Mass.. enak banget. Lemes deh." katanya. Dia terkulai menindihku.
"Enak?", tanyaku.
"Enak banget, kamu pinter yah. Ngga pernah lho aku klimaks kayak tadi."
"Akh, yang bener..? Kamu kan tadi udah ngerasain." kataku mengingatkan pada permainan pertama kami ."
"Tapi, uuhh.. lebih enak yang ini.."
Ternyata Reni masih menikmati sisa-sisa klimaksnya. Tetapi karen a belum puas, langsung saja kujilat kembali liang kemaluannya. Semakin lama semakin asyik dan sangat enak, dan dia pun merintih-rintih kecil.
"Mass.. nakal ahh.. kok.. akkhh.. dimaenin lagi.. ouuchh.. siich.. uw uuhh oo.. sstt akhs.. akhs.. akhs.. oohh aahh.. sstth," sambil tubuhnya agak bergerak tidak karuan, mungki n jilatanku tidak seberapa tetapi kulihat dia sedang keasyikan menikmati jilatanku.
Lalu dia berdiri da n menarik tubuhku ke lantai. Di situ kami berciuman lagi, entah kenapa aku merasakan sesuatu yang hangat d i sekitar liang kemaluannya, kuingin batang kemaluanku dimasukkannya ke lubang kemaluannya. Soalnya aku ma sih ragu. Walaupun tadi sih berani. Tetapi takut si Ana bangun. Kemudian aku memberanikan untuk bicara.
" Ren, aku masukin lagi yaa.. Tadi kan belum puass.."
Reni tidak menjawab. Dia hanya merintih keenakan. Kar ena malas bermain sambil berdiri, aku mendorong Reni hingga tertindih oleh badanku. Reni mengerang keras k arena vagina tertindih oleh adikku yang sudah menegang tinggi. Kemudian mulai lagi kugerakkan tanganku men cakar halus pinggangnya sampai ke payudaranya. Reni meremas kedua tanganku, menahan geli yang ditimbulkann ya.
"Ssshh.. sshh!" Reni mendesis berkali-kali menahan kenikmatan itu.
Kembali aku memainkan klitorisn ya dengan tanganku, sementara kujilati kedua pahanya.
"Aaahh.. sshh," Reni mengerang lirih.
Aku menikmat i aroma kewanitaannya yang semerbak bersamaan keluarnya cairan dari liang kemaluannya. Kubenamkan wajahku ke liang kemaluannya sambil menjilati bibir kemaluannya. Klitorisnya yang berwarna merah jambu kukulum sam bil kumainkan dengan lidahku. Tubuh Reni menggelinjang bergetar.
"Uuuhffss.. aahh!" Reni menjerit menahan kenikmatan sambil tangannya menggenggam tepi ranjang.
Kurasakan cairan kemaluannya deras mengalir dan ku hisap dengan penuh kepuasan.
"Mass.. masukin sekarang.. aku ngga tahan nih.." Reni lirih memohonku untu k segera memasuki tubuhnya.
Aku segera menempatkan tubuhku di atas tubuhnya yang ramping, seksi serta ken cang itu. Berdesir darahku melihat Reni terbaring polos telanjang. Ini bukan kesekian kalinya aku mengagum inya. Badan Reni kurus tetapi kencang dan atletis seperti pelari sprinter tetapi untungnya tidak sampai be rotot.
"Maass.. cepat doong.. aakkhh.. ngga tahan nih.."
"Ok, tenang aja.."
Sejenak sempat kudengar R eni mendesis saat meraih kemaluanku.
"Uuu.. besar dan kuat.." ujarnya setengah berbisik seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Begitu ujung kepala batang kejantananku menempel di bibir kewanitaannya, kurasakan getaran listrik yang mulai menjalar di seluruh tubuhku. Lalu perlahan kudorongkan ke dalam liang kemaluan nya.
"Uuhhss.. yess, Mass.. uuffssh," Reni mengerang sambil mendongakkan kepalanya.
Dengan satu dorongan berikutnya, batang kemaluanku sudah masuk secara penuh ke dalam liang kenikmatan Reni yang hangat dan teb al. Reni mengalungkan kedua tangannya di leherku dan kedua kakinya melingkar di pinggangku.
Aku mulai g erakan memompa liang kemaluannya.
"Yess.. uff Maas.." Reni menjerit halus sambil memejamkan matanya.
Ger akanku semakin lama semakin cepat dengan tekanan yang semakin kuat menerobos kedalaman liang kemaluan Reni yang merespon dengan berdenyut-denyut seperti memijit batang kemaluanku.
Tiba-tiba Reni membuka matanya dan berbisik lirih, "Mas ganti posisi.. aku mau nih keluar nih.."
Kami segera ganti posisi, badan Reni me mbalik dalam posisi menungging (doggy style). Katanya dia biasa orgasme dalam posisi ini.
Aku menuruti permintaan Reni yang jelas dalam posisi ini aku jadi bisa melihat postur Reni lebih lengkap. Biarpun Reni ramping, tetapi dia memiliki pantat yang padat dan berisi sehingga dengan pinggangnya yang ramping makin m embuat pantatnya montok. Aku segera mengarahkan batang kemaluanku kembali, kali ini penetrasi dari belakan g.
"Srrt.." makin lancar penetrasiku kali ini soalnya bagian luar liang kemaluan Reni makin basah.
Reni menggenggam pegangan ranjang degan kedua tangannya. Aku menciumi lehernya dari belakang sambil kadang-kada ng menggigit pundaknya. Ternyata Reni sangat aktif dalam posisi ini. Dia semakin aktif bergerak, selain me ngikuti gerakan maju mundurku, pinggulnya pun bergoyang mengocok batang kemaluanku.
"Reni.. pinggul kam u hebat banget," aku berbisik terengah-engah.
Reni menjawabnya dengan erangan-erangan, dia menoleh kepada ku sambil menggigit bibir bawahnya. Terlihat peluh membasahi wajahnya yang makin memerah.
Sesaat kemudian dia berbisik kepadaku, "Ouuchh.. sayang.. lebih cepat!" suaranya diikuti deru nafas yang memburu. Rupanya dia sudah semakin mendekati klimaks.
Aku pun meresponnya dengan gerakan yang lebih cepat dan keras. Kutu sukkan batang kemaluanku makin dalam ke liang kemaluannya seiring perasaan klimaks yang sudah di ambang.
"Aaahh Uuuh Sssh.. teruus Mas.. ahh.." Reni menjerit sambil bergerak makin liar sampai ranjangnya berderik -derik.
Kuteruskan gerakanku dengan mengerahkan sekuat tenaga mengimbangi gerakan liar Reni.
Ana masih tidur ketika Reni tiba-tiba menjerit, "Aaah.. uuhhffsshh.. Mass.." kepalanya mendongak, tubuhnya bergetar hebat dan kurasakan semburan hangat dari liang kewanitaannya merembes sampai ke buah kemaluanku.
Aku pun melepaskan jutaan spermaku menyemprot kencang memenuhi karet kondom yang kupakai.
"Uuu.. yess.." Reni me ngakhiri gelombang kenikmatan dan mengerang sambil menikmati sisa-sisa orgasmenya.
"Ouuhh.. Mass, kamu he bat sekali.. aahh.."
Mungkin bisa dibilang ini adalah permainan terbaikku dibandingkan dengan Ana. Kemudi an kami pun sempat tertidur berpelukan di kamar Ana.
Jam 5 pagi Reni balik ke kamarnya dan aku pun tidu r di kamarku sendiri. Pukul 10:00, aku bangun dan mempersiapkan diri untuk kembali pulang ke kotaku. Aku d iantar Om ke terminal bus, aku tidak sempat pamit dengan Ana dan Reni karena mereka belum bangun. Reni kel elahan karena habis bertempur denganku sepanjang malam, sedang Ana masih terpengaruh CTM. Tante sendiri be lum bangun juga. Si Reni memang gila seks. Hari itu hari Kamis, jadwalku adalah harus berobat ke dokter sp esialisku. Tetapi sial, di jalan perutku terasa sakit, sepertinya diare. Aku terpaksa turun di jalan dan m encari restoran terdekat untuk buang hajat. Sampai di rumahku pukul 8 malam dan itu berarti aku tidak jadi ke dokter. Tetapi aku tetap tersenyum simpul, kalau mengingat baru saja aku mendapatkan dua perawan ting- ting.
Setelah lulus SMA, saya ingin merantau kuliah di Jawa. Oleh karena itu Surabaya yang menjadi tujuan , karena saya masih punya keluarga dari ibu di sana. Paling tidak mbah saya dari ibu masih lengkap dan tante-tante (bulik) dari ibu juga banyak di sana.
Mungkin saya cucu kesayangan, sehingga ked atangan saya disambut gembira oleh kedua mbah dan tante-tante. Rumahnya tidak terlalu besar, tetapi memiliki halaman lumayan. Kalau tidak salah yang ukurannya sekitar 500 m2. Selama mencari pergurua n tinggi yang cocok, saya menginap di rumah mbah. Kelak jika sudah diterima di Perguruan Tinggi, sa ya berencana kost.
Saya tidur sekamar dengan mbah. Berhubung kamarnya hanya cukup dimuat oleh se buah tempat tidur ukuran besar, saya diajak oleh tante saya tidur di kolong tempat tidur mbah. Rupa nya dia memang biasa tidur di situ dengan gelaran kasur tipis. Bagi saya malah enak tidur di kolong begitu, selain rada sensansi karena gelap, juga leluasa karena ternyata tempatnya cukup luas.
S atu, dua, tiga malam saya tidur biasa-biasa saja. Meskipun di sebelah saya tidur tante saya yang be lum kawin dan beda usia kami sekitar 7 tahun. Dia adalah adik ibu saya yang terkecil. Dia memang an ak bungsu. Saya tidak berminat sama tente saya ini, karena selain segan tentunya dia bukan tipe say a. Orangnya agak hitam, susunya tidak terlalu besar. Meski dia sudah bekerja, tetapi cara berpakaia nnya sederhana dan jauh dari sebutan sexy.
Jadinya saya walau tidur berdua dan bergelap-gelapan, tidak ada perasaan apa-apa. Sampai satu malam saya terbangun karena rasanya gerah. Pelan-pelan say a buka mata saya untuk mengenali situasi. Ternyata saya dijadikan guling oleh tante saya. Meski ger ah, berat, dikeloni oleh wanita dewasa begini, tentunya pelan-pelan ya saya tidak dapat netral lagi .
Sedapat mungkin saya menetralkan emosi. Namun, semampu-mampunya mengontrol emosi, ada juga yan g tidak mau dikontrol. Tapi, saya tetap bersikap diam. Untungnya adik kecil ini tidak tertindih kak i tante saya, sehingga saya masih dapat berdiam. Waktu itu saya berpikir berkali-kali, menimbang be rulang-ulang. Apakah ini kesengajaan atau tidak sengaja. Jika salah mengantisipasi, saya bisa berab e. Oleh karena itu lebih baik dianggap kurang mampu menanggapi peluang dari pada dianggap kurang aj ar (gengsi kali ya).
Malam itu saya akhirnya tertidur sambil menahan beban, dan seingat saya pag inya dia tidak lagi merangkul saya. Kami tidak berubah, dan dia bersikap seperti sebelumnya, meskip un pada mulanya saya rada rikuh juga menghadapi tante saya ini. Malam kedua saya agak lama tertidur , tante di sebelah nampaknya sudah lebih dulu lelap. Kini dia ulangi lagi memeluk saya. Celakanya a dik kecil saya tertindih pahanya. Saraf motoriknya langsung bekerja untuk memuai, saya tidak kuasa mencegahnya. Kali ini pun saya tidak berani bereaksi. Saya nikmati saja seolah-olah saya keponakan tersayang tidurnya dikeloni. Ya apa boleh buat, sama sekali saya tidak berani membayangkan mencumbu i tante saya ini, jadi ya saya pasrah jadi orang bego.
Setelah kejadian dua malam itu, saya jadi merindukan segera tidur lagi. Malam ketiga kami masuk ke bawah kolong bersama-sama setelah keadaan kamar mbah gelap. Dia senyum yang saya tidak tahu artinya, dan terpaksa saya balas juga senyumnya sekedar menghormati. Seperti biasa, saya memang lebih sering tidur telentang, dan biasanya sampai p agi tetap begitu. Tante langsung memeluk saya, padahal dia belum tidur. Komputer di kepala langsung menganalisa, oo.., ternyata selama ini ada unsur kesengajaan. Tapi kesengajaan dalam rangka apa, s usah pula ditebak.
Kalau dalam keadaan sadar begini saya tetap diam, saya khawatir dianggap tida k normal, atau paling tidak demi penghormatan saya harus merespon. Jadilah saya membalas ikut meran gkulnya. Ada celakanya, karena tangan saya sebelah kiri tertindih badannya, dan posisinya kira-kira menyentuh bagian selangkangan tante saya. Wah posisi susah ini, mau digeser jalannya buntu, tidak digeser, nyaris menyentuh vaginanya.
Kesemutan deh tangan ini akhirnya, karena saya tidak berani menggerakkan tangan itu. Kami saling berhadapan, dan ternyata mulut saya tidur lebih rendah, sehin gga kening saya tepat di depan mulutnya. Saya merangkul tanpa mengeluarkan kata-kata, dan tanpa ger akan apa pun. Eh lha kok dia nyium kening saya, dan makin mengeratkan rangkulan. Saya jadi terjebak harus mencium lehernya. Untung tadi sebelum tidur saya sempat berbalur baby cologne, jadi bau bada n saya mungkin seperti bayi. Saya pun mengendus bau bedak yang segar dari tubuh tante.
Ciuman ta nte kok kayaknya bukan ciuman seperti dari ibu ke anaknya, tapi ada rasa lain. Sebabnya dia bertubi -tubi menciumi saya di sekitar kening, lalu pelan-pelan ke mata, ke hidung, ke pipi. Saya berkesimp ulan tante saya ini mulai bernafsu, dan keputusan saya hanya menikmati serangannya dan berusaha tet ap pasif namun kooperatif.
Pelan-pelan saya dongakkan kepala, sehingga ia berhasil mencapai bibi r saya. Kini dia tidak lagi sekedar merangkul tetapi mulai agak menindih dan dengan ganasnya menyed ot mulut saya, dan memainkan lidahnya ke dalam mulut saya. Saya merespon seadanya, sebagai tanda sa ya menghormati inisiatifnya. Untungnya kamar mbah saya ini di bagian depan rumah, jadi dekat dengan jalan, sehingga suara-suara lalu lintas di jalan membuat kamar ini tidak hening. Jadi jika pun ada suara-suara yang keluar dari cumbuan kami, hampir pasti tidak terdengar ke atas.
Saya baru sada r jika payudara yang menempel di dada saya ini tidak dilapis BH. Dan untungnya dia mengenakan daste r dengan kancing di depan dan belahan dadanya agar rendah. Tante saya ini aktif sekali, dia buka pe lan-pelan kancing piyama saya dan dia ciumi dada dan puting susu saya. Aduh gelinya dan rangsangann ya sulit saya pendam lagi.
Tiba-tiba ditariknya kepala saya ke bagian dadanya, dan sepertinya di a menyuruh saya menciumi bagian dadanya. Dia pun membuka satu persatu kancing di dadanya. Ya ampun, payudaranya kenyal sekali. Putingnya yang masih kecil saya jilati dan sedot bergantian kiri dan ka nan. Dia seperti kepedasan, tapi mendesisnya berbeda.
Tangannya perlahan-lahan merambat ke selan gkangan saya. Dia meraba adik saya dari bagian luar celana yang rasanya sudah mau meledak. Dikucel- kucelnya celana saya dengan gerakan hiperaktif. Saya jadi pecah konsentrasi menciumi payudaranya, s ehingga akhirnya saya posisikan diri telentang. Dengan demikian tanggannya lebih leluasa meraba anu saya dari luar. Dia tidak puas pelan-pelan mencari celah untuk memasukkan tanggannya ke dalam cela na saya. Digenggamnya rudal saya, dan dikocok-kocok. Saya menjadi sangat terangsang. Tetapi saya be rhasil mengendalikan diri agar tidak cepat muncrat.
Dilucutinya celana saya sehingga rudal tegak bebas siap diluncurkan. Sementara itu tangannya membimbing tangan saya mengarahkan ke vaginanya. S aya turuti tanpa perlawanan, dan segera mencari segitiga emasnya. Saya raba dari bagian luar daster nya, dan pelan-pelan saya tarik dasternya ke atas sehingga tangan saya dapat menyentuh CD-nya. Cela nanya terasa agak lembab terutama di bagian bawah. Tangan saya berusaha mencari jalan ke dalam cela na dalamnya dan mendapati gundukan dengan bulu tipis dan belahan yang basah.
Segera saya cari kl itorisnya. Dia lalu tidur telentang sambil berusaha melepas CD-nya sendiri. Setelah tanpa CD dia me mberi keleluasaan tangan saya mengucek-ucek klitroisnya. Dalam hal mengucek, saya telah memiliki ke trampilan, sehingga gerakan saya sangat diresponnya dengan rangsangan yang semakin hebat dirasakann ya. Dia kini tidak lagi mengocok-kocok rudal saya, sudah lupa kali.
Tidak lama kemudian tangan s aya dijepitnya dengan kedua paha dan tangannya menekan tangan saya ke kemaluannya. Saya berhenti me ngucek-ucek. Vaginanya terasa berdenyut-denyut seperti denyutan kalau rudal saya memuntahkan peluru nya. Dalam keadaan orgasme itu saya segera menyergap mulutnya, dan saya sedot kuat-kuat. Dia sampai terengah-engah, dan saya kembali telentang sambil rudal tetap siaga di tempatnya. Saya pasrah saja tidak lagi mengambil inisiatif apa-apa.
Sekitar 5 menit kemudian dimiringkan badannya menghadap saya. Dan saya pun ditariknya agar juga miring menghadap dirinya. Ditepatkan vaginanya ke rudal sa ya, dan kakinya sebelah naik ke badan saya. Rudal saya digesek-gesekkan ke vaginanya, dan sesekali dia usahakan dimasukkan ke dalam liang vaginanya. Tapi usaha memasukkan itu selalu gagal, karena se mpitnya liang senggama itu. Saya pasrah saja. Habis kolong tempat tidur itu begitu rendah, sehingga tidak mungkin saya mengambil posisi menindihnya.
Linu juga rasanya kepala rudal ini digosok-gos okkan ke arah klitorisnya, tetapi dia sangat menikmati sampai akhirnya dia kelojotan sendiri karena orgasme. Saya tetap pada posisi nanggung, sementara dia sudah 2 kali Orgasme. Apa boleh buat lah, tidak ada kesempatan dalam kesempitan. Tiba-tiba dia keluar dari kolong menuju kamar mandi. Barangk ali mencuci kemaluannya karena sudah belepotan dengan cairannya sendiri.
Tidak lama kemudian dia masuk kembali, dan segera menyusup ke bawah kolong. Tapi dia tidak langsung di sisi saya, posisiny a nanggung, dan mulutnya dekat sekali ke rudal saya yang sudah kembali berada di balik celana, mesk i voltase-nya belum turun. Ditariknya celana saya pelan-pelan, dan segera disergap peluru kendali i tu dengan sedotan yang sangat kuat. Rasanya seluruh saluran mani dan kencing bagai ditarik keluar, linu geli dan enaknya bukan main.
Perlahan-lahan dan hati-hati dia memposisikan liang senggamany a menghadap ke mulut saya, dan dia tarik badan saya sampai pada posisi miring. Saya tahu maksudnya, agar saya menciumi kemaluannya. Dan astaga.., ketika saya buka dasternya ke atas, dia tidak lagi m engenakan CD dan vaginanya bau wangi sabun. Pelan-pelan saya julurkan lidah saya ke arah belahan ke maluannya, dan mencari klit-nya. Kepala saya dijepit diantara kedua pahanya, sehingga saya susah be rgerak. Sementara rudal masih terus dilomoti dan disedot.
Saya temukan klit-nya, dan perlahan-la han saya jilati terus menerus dengan gerakan yang sedapat mungkin konstan. Dia semakin semangat men ghisap rudal saya, saya pun makin tinggi, mungkin dia juga karena gerakannya makin tidak terkontrol . Saya menikmati gerakannya yang sedang terangsang, saya jadi makin terangsang dan siap meledak. Ti dak lama berselang, saya pun meledak tetapi saya berusaha terus menjilati. Mendapati ledakan saya r upanya dia pun terpicu pada orgasme karena tiba-tiba kepala saya dijepit sekuat-kuatnya.
Saya ti dak tahu apakah mani saya ditelan atau tidak, karena saat mau meledak tadi saya tidak beri aba-aba, tetapi ketika meledak pun dia tidak melepaskan rudal saya. Sesaat tembakan terakhir saya, kepala r udal ini rasanya ngilu luar biasa sehingga saya menahan kepalanya agar tidak bergerak. Lemas rasany a badan saya seperti habis lari marathon 10 km. Saya tidur telentang dan rasanya dia mengelap mani saya yang tercecer dengan kain, yang mungkin sudah disiapkan.
Hampir setiap malam kami melakukan seperti itu. Dan polanya selalu serupa. Sampai suatu malam kami menikmati yang lebih leluasa. Pasa lnya mbah berdua menginap di salah satu rumah anaknya. Jadilah kami yang harus tidur berdua di temp at tidur mbah.
Kami masuk ke kamar tidur seperti biasanya sekitar jam 10 malam. Pintu langsung d ikunci dan kamar gelap gulita. Kami memulainya dengan cumbuan berat sampai akhirnya telanjang bulat berdua. Dia mengarahkan badan saya agar menindihnya dan kakinya dilebarkan dan ditekuk sehinga lub ang vaginanya terbuka lebar. Pelan-pelan dituntunnya rudal saya ke arah lubang vaginanya yang telah siaga.
Saya terus terang tidak tahu apakah dia perawan atau tidak, tetapi nyatanya memperjuangk an kepala rudal masuk ke lubang vaginanya susahnya bukan main. Setelah kepala rudal terbenam, pelan -pelan saya dorong tetapi masih sulit, meskipun dia sudah membuka selebar-lebarnya. Sambil saya tek an pelan, saya lebih tegangkan rudal saya sampai menjadi sangat kaku. Cara ini ternyata mampu menem bus ke dalam gua lebih dalam. Tetapi tetap saja ada halangan. Dia agak merintih sambil berbisik, sa kiitt. Saya tahan setengah jalan, mungkin baru sepertiga perjalanan. Lalu saya tekan sedikit sambil kembali menegangkan rudal, masuk lagi sedikit. Rasanya sudah setengah batang saya terbenam. Dia ta han lagi badan saya karena katanya sakit. Saya pun menahan, lalu menarik sedikit dan mendorong sedi kit. Jadi untuk beberapa saat kami main setengah tiang. Dia mulai merasa nikmat dengan permainan se tengah tiang itu, sementara saya merasakan nikmat yang tanggung.
Sambil menarik dan mendorong, s aya mencuri dorongan lebih banyak dan seperti gerakan piston, ternyata batang saya mulai lebih jauh terbenam. Meskipun begitu, masih ada seperempat bagian yang tersisa masih belum dapat masuk karena terhalang sakit. Saya kembali bermain tigaperempat tiang, dan pada satu kesempatan setelah gerakan itu licin, saya hunjam sampai seluruh batang saya tertanam. Merdeka, saya berhasil, meski dia mend esis rada kesakitan. Saya berhenti untuk memberi kesempatan agar rasa sakitnya berkurang. Pelan-pel an saya gerakkan maju mundur lagi. Kini dia tidak lagi merasakan sakit seperti semula. Tapi mungkin masih ada sakit meski sedikit. Saya lakukan gerakan pelan sambil mencari posisi yang tepat.
Sam pai pada posisi dimana dia memberi respon saya bertahan di posisi itu. Tidak lama kemudian dia meng unci badan saya dan saya rasakan vaginanya berdenyut, padahal saya juga sudah hampir dan sudah lari pada persneling 5. Kini terpaksa kembali ke posisi netral dan maju lagi perlahan-lahan dengan pers neling satu, dua sampai lima saya pusatkan perhatian karena saya sudah hampir meledak. Saya tidak l agi dapat memikirkan apa-apa ketika rudal saya hampir meledak, dia malah kelojotan dan berdenyut-de nyut vaginanya membuat ledakan saya bagaikan bom atom. Mungkin kami mencapai orgasme yang sama.
Saya tidak lagi dapat menimbang harus ditembak di dalam atau di luar, pokoknya pada saat itu rasa e nak sudah mengalahkan semua pertimbangan. Malam itu kami main sampai 3 kali. Celakanya atau untungn ya mbah menambah hari menginapnya sehingga malam kedua kami mengadakan reli dan memecahkan rekor sa ya 9 kali ejakulasi, dia entah berapa kali, karena saya tidak mampu menghitung, apalagi permainan s aya makin lama untuk ronde-ronde berikutnya. Pada ejakulasi yang kesembilan rasanya tinggal angin s aja yang keluar dari peluru kendali ini.
Seharian itu kemudian saya tidur kecapaian, selain memb alas tidur malam yang terbengkalai, juga memulihkan tenaga yang musnah. Meskipun sudah demikian jau h kami berbuat, tetapi jika di hadapan saudara-saudara kami tidak berubah sikap, artinya saya tetap saja menganggap dia tante saya dan saya keponakannya. Tapi di balik itu kami punya cerita yang dah syat. Setelah reli itu saya sampai sekarang tidak pernah mampu lagi mencapai 9 kali dalam semalam m eskipun dengan wanita yang lain.
Mungkin saya cucu kesayangan, sehingga ked atangan saya disambut gembira oleh kedua mbah dan tante-tante. Rumahnya tidak terlalu besar, tetapi memiliki halaman lumayan. Kalau tidak salah yang ukurannya sekitar 500 m2. Selama mencari pergurua n tinggi yang cocok, saya menginap di rumah mbah. Kelak jika sudah diterima di Perguruan Tinggi, sa ya berencana kost.
Saya tidur sekamar dengan mbah. Berhubung kamarnya hanya cukup dimuat oleh se buah tempat tidur ukuran besar, saya diajak oleh tante saya tidur di kolong tempat tidur mbah. Rupa nya dia memang biasa tidur di situ dengan gelaran kasur tipis. Bagi saya malah enak tidur di kolong begitu, selain rada sensansi karena gelap, juga leluasa karena ternyata tempatnya cukup luas.
S atu, dua, tiga malam saya tidur biasa-biasa saja. Meskipun di sebelah saya tidur tante saya yang be lum kawin dan beda usia kami sekitar 7 tahun. Dia adalah adik ibu saya yang terkecil. Dia memang an ak bungsu. Saya tidak berminat sama tente saya ini, karena selain segan tentunya dia bukan tipe say a. Orangnya agak hitam, susunya tidak terlalu besar. Meski dia sudah bekerja, tetapi cara berpakaia nnya sederhana dan jauh dari sebutan sexy.
Jadinya saya walau tidur berdua dan bergelap-gelapan, tidak ada perasaan apa-apa. Sampai satu malam saya terbangun karena rasanya gerah. Pelan-pelan say a buka mata saya untuk mengenali situasi. Ternyata saya dijadikan guling oleh tante saya. Meski ger ah, berat, dikeloni oleh wanita dewasa begini, tentunya pelan-pelan ya saya tidak dapat netral lagi .
Sedapat mungkin saya menetralkan emosi. Namun, semampu-mampunya mengontrol emosi, ada juga yan g tidak mau dikontrol. Tapi, saya tetap bersikap diam. Untungnya adik kecil ini tidak tertindih kak i tante saya, sehingga saya masih dapat berdiam. Waktu itu saya berpikir berkali-kali, menimbang be rulang-ulang. Apakah ini kesengajaan atau tidak sengaja. Jika salah mengantisipasi, saya bisa berab e. Oleh karena itu lebih baik dianggap kurang mampu menanggapi peluang dari pada dianggap kurang aj ar (gengsi kali ya).
Malam itu saya akhirnya tertidur sambil menahan beban, dan seingat saya pag inya dia tidak lagi merangkul saya. Kami tidak berubah, dan dia bersikap seperti sebelumnya, meskip un pada mulanya saya rada rikuh juga menghadapi tante saya ini. Malam kedua saya agak lama tertidur , tante di sebelah nampaknya sudah lebih dulu lelap. Kini dia ulangi lagi memeluk saya. Celakanya a dik kecil saya tertindih pahanya. Saraf motoriknya langsung bekerja untuk memuai, saya tidak kuasa mencegahnya. Kali ini pun saya tidak berani bereaksi. Saya nikmati saja seolah-olah saya keponakan tersayang tidurnya dikeloni. Ya apa boleh buat, sama sekali saya tidak berani membayangkan mencumbu i tante saya ini, jadi ya saya pasrah jadi orang bego.
Setelah kejadian dua malam itu, saya jadi merindukan segera tidur lagi. Malam ketiga kami masuk ke bawah kolong bersama-sama setelah keadaan kamar mbah gelap. Dia senyum yang saya tidak tahu artinya, dan terpaksa saya balas juga senyumnya sekedar menghormati. Seperti biasa, saya memang lebih sering tidur telentang, dan biasanya sampai p agi tetap begitu. Tante langsung memeluk saya, padahal dia belum tidur. Komputer di kepala langsung menganalisa, oo.., ternyata selama ini ada unsur kesengajaan. Tapi kesengajaan dalam rangka apa, s usah pula ditebak.
Kalau dalam keadaan sadar begini saya tetap diam, saya khawatir dianggap tida k normal, atau paling tidak demi penghormatan saya harus merespon. Jadilah saya membalas ikut meran gkulnya. Ada celakanya, karena tangan saya sebelah kiri tertindih badannya, dan posisinya kira-kira menyentuh bagian selangkangan tante saya. Wah posisi susah ini, mau digeser jalannya buntu, tidak digeser, nyaris menyentuh vaginanya.
Kesemutan deh tangan ini akhirnya, karena saya tidak berani menggerakkan tangan itu. Kami saling berhadapan, dan ternyata mulut saya tidur lebih rendah, sehin gga kening saya tepat di depan mulutnya. Saya merangkul tanpa mengeluarkan kata-kata, dan tanpa ger akan apa pun. Eh lha kok dia nyium kening saya, dan makin mengeratkan rangkulan. Saya jadi terjebak harus mencium lehernya. Untung tadi sebelum tidur saya sempat berbalur baby cologne, jadi bau bada n saya mungkin seperti bayi. Saya pun mengendus bau bedak yang segar dari tubuh tante.
Ciuman ta nte kok kayaknya bukan ciuman seperti dari ibu ke anaknya, tapi ada rasa lain. Sebabnya dia bertubi -tubi menciumi saya di sekitar kening, lalu pelan-pelan ke mata, ke hidung, ke pipi. Saya berkesimp ulan tante saya ini mulai bernafsu, dan keputusan saya hanya menikmati serangannya dan berusaha tet ap pasif namun kooperatif.
Pelan-pelan saya dongakkan kepala, sehingga ia berhasil mencapai bibi r saya. Kini dia tidak lagi sekedar merangkul tetapi mulai agak menindih dan dengan ganasnya menyed ot mulut saya, dan memainkan lidahnya ke dalam mulut saya. Saya merespon seadanya, sebagai tanda sa ya menghormati inisiatifnya. Untungnya kamar mbah saya ini di bagian depan rumah, jadi dekat dengan jalan, sehingga suara-suara lalu lintas di jalan membuat kamar ini tidak hening. Jadi jika pun ada suara-suara yang keluar dari cumbuan kami, hampir pasti tidak terdengar ke atas.
Saya baru sada r jika payudara yang menempel di dada saya ini tidak dilapis BH. Dan untungnya dia mengenakan daste r dengan kancing di depan dan belahan dadanya agar rendah. Tante saya ini aktif sekali, dia buka pe lan-pelan kancing piyama saya dan dia ciumi dada dan puting susu saya. Aduh gelinya dan rangsangann ya sulit saya pendam lagi.
Tiba-tiba ditariknya kepala saya ke bagian dadanya, dan sepertinya di a menyuruh saya menciumi bagian dadanya. Dia pun membuka satu persatu kancing di dadanya. Ya ampun, payudaranya kenyal sekali. Putingnya yang masih kecil saya jilati dan sedot bergantian kiri dan ka nan. Dia seperti kepedasan, tapi mendesisnya berbeda.
Tangannya perlahan-lahan merambat ke selan gkangan saya. Dia meraba adik saya dari bagian luar celana yang rasanya sudah mau meledak. Dikucel- kucelnya celana saya dengan gerakan hiperaktif. Saya jadi pecah konsentrasi menciumi payudaranya, s ehingga akhirnya saya posisikan diri telentang. Dengan demikian tanggannya lebih leluasa meraba anu saya dari luar. Dia tidak puas pelan-pelan mencari celah untuk memasukkan tanggannya ke dalam cela na saya. Digenggamnya rudal saya, dan dikocok-kocok. Saya menjadi sangat terangsang. Tetapi saya be rhasil mengendalikan diri agar tidak cepat muncrat.
Dilucutinya celana saya sehingga rudal tegak bebas siap diluncurkan. Sementara itu tangannya membimbing tangan saya mengarahkan ke vaginanya. S aya turuti tanpa perlawanan, dan segera mencari segitiga emasnya. Saya raba dari bagian luar daster nya, dan pelan-pelan saya tarik dasternya ke atas sehingga tangan saya dapat menyentuh CD-nya. Cela nanya terasa agak lembab terutama di bagian bawah. Tangan saya berusaha mencari jalan ke dalam cela na dalamnya dan mendapati gundukan dengan bulu tipis dan belahan yang basah.
Segera saya cari kl itorisnya. Dia lalu tidur telentang sambil berusaha melepas CD-nya sendiri. Setelah tanpa CD dia me mberi keleluasaan tangan saya mengucek-ucek klitroisnya. Dalam hal mengucek, saya telah memiliki ke trampilan, sehingga gerakan saya sangat diresponnya dengan rangsangan yang semakin hebat dirasakann ya. Dia kini tidak lagi mengocok-kocok rudal saya, sudah lupa kali.
Tidak lama kemudian tangan s aya dijepitnya dengan kedua paha dan tangannya menekan tangan saya ke kemaluannya. Saya berhenti me ngucek-ucek. Vaginanya terasa berdenyut-denyut seperti denyutan kalau rudal saya memuntahkan peluru nya. Dalam keadaan orgasme itu saya segera menyergap mulutnya, dan saya sedot kuat-kuat. Dia sampai terengah-engah, dan saya kembali telentang sambil rudal tetap siaga di tempatnya. Saya pasrah saja tidak lagi mengambil inisiatif apa-apa.
Sekitar 5 menit kemudian dimiringkan badannya menghadap saya. Dan saya pun ditariknya agar juga miring menghadap dirinya. Ditepatkan vaginanya ke rudal sa ya, dan kakinya sebelah naik ke badan saya. Rudal saya digesek-gesekkan ke vaginanya, dan sesekali dia usahakan dimasukkan ke dalam liang vaginanya. Tapi usaha memasukkan itu selalu gagal, karena se mpitnya liang senggama itu. Saya pasrah saja. Habis kolong tempat tidur itu begitu rendah, sehingga tidak mungkin saya mengambil posisi menindihnya.
Linu juga rasanya kepala rudal ini digosok-gos okkan ke arah klitorisnya, tetapi dia sangat menikmati sampai akhirnya dia kelojotan sendiri karena orgasme. Saya tetap pada posisi nanggung, sementara dia sudah 2 kali Orgasme. Apa boleh buat lah, tidak ada kesempatan dalam kesempitan. Tiba-tiba dia keluar dari kolong menuju kamar mandi. Barangk ali mencuci kemaluannya karena sudah belepotan dengan cairannya sendiri.
Tidak lama kemudian dia masuk kembali, dan segera menyusup ke bawah kolong. Tapi dia tidak langsung di sisi saya, posisiny a nanggung, dan mulutnya dekat sekali ke rudal saya yang sudah kembali berada di balik celana, mesk i voltase-nya belum turun. Ditariknya celana saya pelan-pelan, dan segera disergap peluru kendali i tu dengan sedotan yang sangat kuat. Rasanya seluruh saluran mani dan kencing bagai ditarik keluar, linu geli dan enaknya bukan main.
Perlahan-lahan dan hati-hati dia memposisikan liang senggamany a menghadap ke mulut saya, dan dia tarik badan saya sampai pada posisi miring. Saya tahu maksudnya, agar saya menciumi kemaluannya. Dan astaga.., ketika saya buka dasternya ke atas, dia tidak lagi m engenakan CD dan vaginanya bau wangi sabun. Pelan-pelan saya julurkan lidah saya ke arah belahan ke maluannya, dan mencari klit-nya. Kepala saya dijepit diantara kedua pahanya, sehingga saya susah be rgerak. Sementara rudal masih terus dilomoti dan disedot.
Saya temukan klit-nya, dan perlahan-la han saya jilati terus menerus dengan gerakan yang sedapat mungkin konstan. Dia semakin semangat men ghisap rudal saya, saya pun makin tinggi, mungkin dia juga karena gerakannya makin tidak terkontrol . Saya menikmati gerakannya yang sedang terangsang, saya jadi makin terangsang dan siap meledak. Ti dak lama berselang, saya pun meledak tetapi saya berusaha terus menjilati. Mendapati ledakan saya r upanya dia pun terpicu pada orgasme karena tiba-tiba kepala saya dijepit sekuat-kuatnya.
Saya ti dak tahu apakah mani saya ditelan atau tidak, karena saat mau meledak tadi saya tidak beri aba-aba, tetapi ketika meledak pun dia tidak melepaskan rudal saya. Sesaat tembakan terakhir saya, kepala r udal ini rasanya ngilu luar biasa sehingga saya menahan kepalanya agar tidak bergerak. Lemas rasany a badan saya seperti habis lari marathon 10 km. Saya tidur telentang dan rasanya dia mengelap mani saya yang tercecer dengan kain, yang mungkin sudah disiapkan.
Hampir setiap malam kami melakukan seperti itu. Dan polanya selalu serupa. Sampai suatu malam kami menikmati yang lebih leluasa. Pasa lnya mbah berdua menginap di salah satu rumah anaknya. Jadilah kami yang harus tidur berdua di temp at tidur mbah.
Kami masuk ke kamar tidur seperti biasanya sekitar jam 10 malam. Pintu langsung d ikunci dan kamar gelap gulita. Kami memulainya dengan cumbuan berat sampai akhirnya telanjang bulat berdua. Dia mengarahkan badan saya agar menindihnya dan kakinya dilebarkan dan ditekuk sehinga lub ang vaginanya terbuka lebar. Pelan-pelan dituntunnya rudal saya ke arah lubang vaginanya yang telah siaga.
Saya terus terang tidak tahu apakah dia perawan atau tidak, tetapi nyatanya memperjuangk an kepala rudal masuk ke lubang vaginanya susahnya bukan main. Setelah kepala rudal terbenam, pelan -pelan saya dorong tetapi masih sulit, meskipun dia sudah membuka selebar-lebarnya. Sambil saya tek an pelan, saya lebih tegangkan rudal saya sampai menjadi sangat kaku. Cara ini ternyata mampu menem bus ke dalam gua lebih dalam. Tetapi tetap saja ada halangan. Dia agak merintih sambil berbisik, sa kiitt. Saya tahan setengah jalan, mungkin baru sepertiga perjalanan. Lalu saya tekan sedikit sambil kembali menegangkan rudal, masuk lagi sedikit. Rasanya sudah setengah batang saya terbenam. Dia ta han lagi badan saya karena katanya sakit. Saya pun menahan, lalu menarik sedikit dan mendorong sedi kit. Jadi untuk beberapa saat kami main setengah tiang. Dia mulai merasa nikmat dengan permainan se tengah tiang itu, sementara saya merasakan nikmat yang tanggung.
Sambil menarik dan mendorong, s aya mencuri dorongan lebih banyak dan seperti gerakan piston, ternyata batang saya mulai lebih jauh terbenam. Meskipun begitu, masih ada seperempat bagian yang tersisa masih belum dapat masuk karena terhalang sakit. Saya kembali bermain tigaperempat tiang, dan pada satu kesempatan setelah gerakan itu licin, saya hunjam sampai seluruh batang saya tertanam. Merdeka, saya berhasil, meski dia mend esis rada kesakitan. Saya berhenti untuk memberi kesempatan agar rasa sakitnya berkurang. Pelan-pel an saya gerakkan maju mundur lagi. Kini dia tidak lagi merasakan sakit seperti semula. Tapi mungkin masih ada sakit meski sedikit. Saya lakukan gerakan pelan sambil mencari posisi yang tepat.
Sam pai pada posisi dimana dia memberi respon saya bertahan di posisi itu. Tidak lama kemudian dia meng unci badan saya dan saya rasakan vaginanya berdenyut, padahal saya juga sudah hampir dan sudah lari pada persneling 5. Kini terpaksa kembali ke posisi netral dan maju lagi perlahan-lahan dengan pers neling satu, dua sampai lima saya pusatkan perhatian karena saya sudah hampir meledak. Saya tidak l agi dapat memikirkan apa-apa ketika rudal saya hampir meledak, dia malah kelojotan dan berdenyut-de nyut vaginanya membuat ledakan saya bagaikan bom atom. Mungkin kami mencapai orgasme yang sama.
Saya tidak lagi dapat menimbang harus ditembak di dalam atau di luar, pokoknya pada saat itu rasa e nak sudah mengalahkan semua pertimbangan. Malam itu kami main sampai 3 kali. Celakanya atau untungn ya mbah menambah hari menginapnya sehingga malam kedua kami mengadakan reli dan memecahkan rekor sa ya 9 kali ejakulasi, dia entah berapa kali, karena saya tidak mampu menghitung, apalagi permainan s aya makin lama untuk ronde-ronde berikutnya. Pada ejakulasi yang kesembilan rasanya tinggal angin s aja yang keluar dari peluru kendali ini.
Seharian itu kemudian saya tidur kecapaian, selain memb alas tidur malam yang terbengkalai, juga memulihkan tenaga yang musnah. Meskipun sudah demikian jau h kami berbuat, tetapi jika di hadapan saudara-saudara kami tidak berubah sikap, artinya saya tetap saja menganggap dia tante saya dan saya keponakannya. Tapi di balik itu kami punya cerita yang dah syat. Setelah reli itu saya sampai sekarang tidak pernah mampu lagi mencapai 9 kali dalam semalam m eskipun dengan wanita yang lain.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar