"Da, Ida! "
Dia menoleh ke belakang tersenyum dan memperhatikanku.
"Siapa ya?" tanyanya.
"Maaf, ma af kukira temanku," sahutku, "Kebetulan dia bernama Ida".
"Mau ke mana sih?" tanyaku sambil ku ulurkan tangan mengajak berkenalan. "Saya Anto".
"Ida, Farida" jawabnya sambil menyambut tanga nku.
"Sebenarnya saya mau nonton di Ramayana Theatre, tapi sudah terlambat lagipula filmya ngg ak bagus", sambungnya lagi.
"Sekarang mau kemana lagi" pancingku.
"Nggak ada, mau pulang aja" jawabnya.
"Jalan yuk ke Sukasari".
"Mau ngapain?"
"Jalan aja, kalau ada film bagus kita non ton di sana aja".
"Ayolah, kebetulan aku juga nggak ada acara, daripada bengong di rumah".
Sambil ngobrol akhirnya kuketahui bahwa Ida bekerja di sebuah showroom mobil di Jakarta. Ia jan da cerai beranak satu. Sudah dua tahun ia menjanda. Umurnya lima tahun di atasku. Tinggal di da erah Warung Jambu, kost dengan beberapa temannya. Perawakannya sedang, tinggi 160 cm dengan bad an yang agak kurus dan dada kecil. Wajahnya lumayan, kalau dinilai dapat angka tujuh. Kacamata minus satu nongkrong di hidungnya.
Sampai di Sukasari Theatre ternyata film sudah diputar se tengah jam.
"Sekarang bagaimana?" tanyaku.
"Terserah kamu saja".
Kuajak dia jalan mutar- mutar di Matahari lihat-lihat baju dan kosmetik. Akhirnya dia ngajak minum jamu di kedai dekat jalan. Tiba-tiba saja dia menggandeng lenganku berjalan ke kedai jamu tersebut.
"Mau minum s ari rapet" godaku.
"Nggak ah, saya biasanya minum sehat wanita saja".
Akhirnya dia pesan ja mu sehat wanita dan aku minum sehat lelaki. Setelah minum jamu duduk-duduk sebentar di sana dan kami kembali ke Sukasari Theatre. Tak berapa lama loket buka.
"Jadi nonton?" tanyaku, "Tent u saja jadi, buat apa nunggu lama-lama di sini?".
Aku ke loket beli tiket. Dan kembali duduk di sampingnya di lobby. Suasana kelihatan sepi, hanya ada beberapa orang saja yang duduk-duduk di lobby. Sukasari Theatre memang bukan bioskop favorit di Bogor. Kalah sama Sartika 21 yang b aru dibuka.
Akhirnya kami masuk ke dalam bioskop, kemudian film mulai diputar. Beberapa lama kemudian tangannya menyusup ke lenganku. Aku diam saja. Ida semakin merapat. Aku berpaling dan menatap wajahnya. Ia tersenyum dan membuka mulutnya sedikit. Tampak giginya yang berderet rapi . Ia menyorongkan mukanya ke arahku dan mencium pipiku. Aku sedikit kaget atas tindakannya. Aku melepaskan tangannya dari lengan kiriku, lalu kulingkarkan ke bahu kirinya. Muka kami berdekat an. Kutatap lagi wajahnya dan perlahan-lahan muka kami saling mendekat. Matanya agak terpejam d an mulutnya terbuka. Kukecup bibirnya pelan dan lama-lama menjadi ciuman yang dalam. Kacamatany a menghalangi aksiku, kuminta dia melepas kacamatanya. Kuremas dada sebelah kirinya dari luar b aju dengan tangan kiriku. Ia menolak dan menepiskan tanganku, tetapi dibiarkan tanganku memeluk bahunya.
Praktis kami nggak konsentrasi lagi ke cerita film yang sedang diputar. Sepanjang pemutaran film itu kami saling merapat dan berciuman. Kadang-kadang lidah kami saling mendesak ke dalam rongga mulut, bergantian kadang lidahnya menggelitik rongga mulutku, kadang lidahku ya ng masuk ke dalam mulutnya. Ia mendesah menahan dorongan nafsunya yang tertahan sekian lama.
Film habis, kami keluar dan berjalan mencari angkutan.
"Kalau sudah malam begini dari sini susah cari angkutan ke rumahku " katanya.
"Jadi bagaimana?"
"Kita coba saja ke Ramayana, nant i disambung lagi".
Akhirnya kami dapat angkutan, tetapi hanya sampai Pajajaran saja. Kami tu run di depan pintu Kebun Raya yang di Pajajaran. Kami menungu lagi di situ.
"Jam segini ngga k ada lagi angkutan ke Warung Jambu kali ya?" tanyaku.
"Kelihatannya sih nggak ada lagi. Kita cari penginapan saja yuk, saya pernah nginap rame-rame dengan teman-teman di satu penginapan. A gak murah, tapi saya lupa tempatnya".
Sekilas terpikir olehku Wisma T dekat Pasar Kebon Kemb ang.
"Benar nih mau nginap? Saya tahu ada penginapan yang bersih dan murah".
Setelah lima belas menit menunggu ada mobil omprengan plat hitam berhenti di depan kami.
"Kemana Pak? Ma ri saya antar" tanya sopir sambil membuka kaca jendelanya.
Kami naik dan minta diantar ke Wi sma T. Sampai di sana ternyata hanya ada kamar standar double bed. Setelah menyelesaikan bill, kami berdua masuk ke kamar. Di dalam kamar kami rapatkan dua bed yang ada. Karena agak gerah ku buka kausku. Ida hanya memandang dan tersenyum saja. Kami berbaring berdampingan di bed masing- masing.
"Boss-nya yang punya showroom orang mana sih?"
"Keturunan Arab" Jawabnya.
"Asyik d ong pasti gede punya barangnya. Kamu sering diajak sama boss dong ".
"Nggak pernah kok". Entah dia berbohong atau benar.
"Terus kalau tiba-tiba kepengen gimana?" Ida hanya diam saja.
Id a bangun dan kulihat dia membuka celana panjangnya.
"Eh ngapain dibuka?" kataku terkejut.
Ida hanya tersenyum saja. Ternyata dia mengenakan celana pendek santai sebatas lutut di dalamn ya. Kembali Ida berbaring di bednya. Karena kedua bed sengaja kami susun berhimpitan, tanganku bisa menjangkau tubuhnya dan kurengkuh mendekat tubuhku. Kembali kami berciuman. Mula-mula hany a kukecup bibirnya saja dengan lembut. Ida membalas lembut dan lama kelamaan mulai menjadi liar . Tangannya memainkan bulu dadaku. Beberapa menit kami saling berciuman dengan dengus napas yan g berat. Kutindih dia sambil berciuman. Meriamku di bawah mulai bangkit. Ida merapatkan selangk angannya pada selangkanganku. Mulutku turun ke atas dadanya dan kucoba membuka kancing blouse n ya dengan bibirku dan gigiku.
"Sebentar, aku buka dulu bajuku ya," Katanya sambil membuka ka ncing bajunya satu persatu.
"Jangan, nggak usah dibuka" kataku sambil menahan tangannya.
"Ngg ak apa-apa kok. Kamu mau kan". Katanya mendesah.
Ia terus membuka baju dan celana pendeknya. Kemudian tangannya membuka ikat pinggangku dan akhirnya menarik ritsluiting dan kemudian denga n perlahan ia menarik celanaku ke bawah. Kini kami hanya mengenakan pakaian dalam saja.
"Kam u sering mengajak perempuan untuk begini ya?" tanyanya.
"Ah nggak, aku belum pernah kok berhub ungan dengan wanita" kataku berbohong. Aku memang sudah beberapa kali berhubungan dengan wanita .
"Nggak percaya, kelihatannya kamu lihai sekali dalam bercumbu tadi".
"Kalau sebatas ciuman emang sih, tapi untuk lebih jauh lagi belum pernah. Paling hanya nonton film dan baca cerita sa ja"
"Jadi kamu masih perjaka?" ia meyakinkan lagi.
"Emangnya kenapa?"
"Eehhngng.." Ia mendes ah ketika lehernya kujilati.
Ida menindihku dan tangannya kebelakang punggungnya membuka pen gait bra-nya. Kini terbukalah dadanya di hadapanku. Buah dadanya tidak besar, hanya pas setangk upan jariku. Terasa sudah agak kendor. Ida mendorong lidahnya masuk jauh ke dalam rongga mulutk u. Lidahnya liar memainkan lidahku. Aku hanya pasif saja, sesekali membalas mendorong lidahnya. Tanganku memilin puting serta meremas payudaranya. Ida menggeserkan tubuhnya ke bagian atas tu buhku sehingga payudaranya pas di depan mulutku. Segera kuterkam payudaranya dengan mulutku. Pu tingnya kuisap pelan dan kugigit kecil.
"Aaacchh, teruskan Anto.. Teruskan". Ia mulai menger ang dan meracau, punggungnya melengkung ke belakang.
Meriamku semakin keras. Ida semakin mer apatkan selangkangannya pada selangkanganku, sehingga kadang terasa agak sakit jika dia terlalu keras menindihku. Puting dan payudaranya semakin kencang dan keras. Kukulum payudaranya sehing ga semuanya masuk ke dalam mulutku, sambil putingnya terus kumainkan dengan lidahku. Dadanya te rlihat memerah dan menjadi lebih gelap dibanding bagian tubuh lainnya pertanda nafsunya mulai t erbakar. Napasnya tersengal-sengal.
Tangan Ida bergerak ke bawah menyelusup di balik celana dalamku, meremas, mengocok dan menggoyang-goyangkan senjataku. Akhirnya dia menarik celana dala mku sampai ke lutut dan dengan bantuan jari kakinya ia melepaskannya ke bawah. Kini aku dalam k eadaan telanjang bulat. Ida menggeserkan mulutnya ke arah bawah, menjilati leher dan menggigit kecil daun telingaku. Hembusan napasnya terasa kuat menerpa tubuhku. Dia mulai menjilati puting ku. Aku terangsang hebat sekali sehingga harus menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menahan rang sangan ini. Kupeluk pinggangnya erat-erat.
Tangannya kemudian membuka celana dalamnya sendir i. Kini tangan kiriku leluasa bermain di antara selangkangannya. Rambut kemaluannya tidak begit u lebat dan pendek-pendek. Dengan jari telunjuk dan jari manis kubuka labia mayora dan labia mi noranya. Jari tengahku menekan bagian atas organ kewanitaannya dan mengusap bagian yang menonjo l seperti kacang tanah. Setiap aku mengusap kelentitnya Ida menggigit kuat dadaku dan mengerang tertahan.
"Aaauhh.. Ngngnggnghhk"
Mulutnya bergerak semakin ke bawah, bermain-main denga n bulu dada dan perutku, terus semakin ke bawah, menjilati bagian dalam lutut dan pahaku. Sendi -sendi kakiku terasa mau lepas. Tangannya masih bermain-main di kejantananku. Kini mulutnya mul ai menjilati kantung penisku. Tanganku meremas-remas rambutnya untuk mengimbanginya. Aku pikir dia mau meng-oral, tetapi ternyata tidak, dia hanya sampai pada kantung penis saja. Aku hanya m enunggu dan mengimbangi gerakannya saja, seolah-olah aku belum pernah melakukan hal ini.
Kem bali Ida bergerak ke atas, tangan kirinya memegang dan mengusap kejantananku yang telah berdiri mengeras. Ia dalam posisi jongkok di atas selangkanganku. Perlahan lahan ia menurunkan pantatn ya sambil memutar-mutarkannya. Agak susah dia kelihatannya berusaha memasukkan kejantananku ke liang vaginanya. Mungkin benar juga setelah menjanda dia tidak pernah merasakan lagi nikmatnya berhubungan badan. Penisku memang lebih besar di bagian ujung daripada pangkalnya. Kepala kejan tananku dijepit dengan kedua jarinya, digesek-gesekkan di mulut vaginanya. Terasa hangat dan le mbab, lama-lama seperti berair. Dia mencoba lagi untuk memasukkan kejantananku. Kali ini..
B lleessh.. Usahanya berhasil.
"Ouhh.. Ida ouhh" kini aku yang setengah berteriak.
Ida berg erak naik turun dalam posisi setengah jongkok. Mula-mula perlahan-lahan dia menggerakkannya, ka rena memang terasa masih agak kesat dan kering. Aku mengimbanginya dengan memutar pinggulku dan meremas payudaranya. Kepalanya mendongak ke atas dan bergerak ke kanan kiri. Kedua tangannya b ertumpu pada pahaku. Ketika lendirnya sudah membasahi organnya Ida mempercepat gerakannya, kada ng-kadang dibuatnya tinggal kepala penisku saja yang menyentuh mulut vaginanya.
Ida menghent ikan gerakannya, merebahkan tubuhnya di atasku dan kini terasa otot vaginanya meremas penisku. Terasa nikmat sekali. Aku mengimbanginya, ketika dia relaksasi aku yang mengencangkan otot peru tku seolah-olah menahan kencing. Demikian bergantian kami saling meremas dengan otot kemaluan k ami. Beberapa saat kami dalam posisi itu tanpa menggerakkan tubuh, hanya otot kemaluan saja yan g bekerja sambil saling berciuman dan memagut tubuh kami.
"Anto, .. Nikmat sekali .. Ooouuhh " desisnya sambil menciumi leherku.
Ida berguling ke samping, kini dalam posisi menyamping a ku yang bergerak maju mundur menyodokkan kejantananku ke dalam vaginanya. Dalam posisi ini gera kanku menjadi kurang nyaman dan kurang bebas. Kugulingkan lagi tubuhnya, kini aku yang berada d i atas. Kuatur gerakanku dengan ritme pelan namun dalam sampai kurasakan kepala penisku menyent uh mulut rahimnya. Kuangkat penisku sampai keluar dari vaginanya dan kumasukkan lagi dengan pel an, demikian berulang-ulang. Ketika penisku menyentuh rahimnya Ida mengangkat pantatnya sehingg a tubuh kami merapat.
"Lebih cepat lagi, oohh.. Aku mau keluar aacchhkk.." Ida memeluk pungg ungku lebih erat. Betisnya membelit pinggangku, matanya setengah terpejam, kepalanya terangkat sehingga seolah-olah tubuhnya menggantung di tubuhku.
Kuubah ritmeku, kugerakkan dengan pela n namun hanya ujung penisku saja yang masuk beberapa kali kemudian sekali kutusukkan dengan cep at sampai seluruh batang terbenam. Matanya semakin sayu dan gerakannya semakin liar. Aku mendad ak menghentikan gerakanku. Payudaranya sebelah kuremas dan sebelah lagi kukulum dalam-dalam. Tu buh Ida bergetar seperti menangis.
"Ayo jangan berhenti, teruskan.. Teruskan lagi" pintanya.
Aku tahu wanita ini hampir mencapai puncaknya. Kugerakkan lagi tubuhku. Kali ini dengan rit me yang cepat dan dalam. Semakin lama semakin cepat. Terdengar bunyi seperti kaki diangkat dari dalam lumpur ketika penisku kunaikturunkan dengan cepat.
"Ayolah Anto, aku mau sampai ".
Gerakan pantatku semakin cepat dan akhirnya
"Sekarang.. Anto.. Sekarang.. Yeeah!!"
Kuras akan tubuhnya menegang, vaginanya berdenyut dengan cepat, napasnya tersengal dan tangannya mere mas rambutku. Kukencangkan otot perutku dan kutahan, terasa ada aliran lahar yang mau meledak. Aku berhenti sejenak dalam posisi kepala penis saja yang masuk dalam vaginanya, kemudian kuhemp askan dalam-dalam. Serr.. Seerr beberapa kali laharku muncrat di dalam vaginanya. Ida hendak be rteriak untuk menyalurkan rasa kepuasannya, namun sebelum keluar suaranya kusumbat mulutnya den gan bibirku.
"MMmmhh.. Achh" pantatnya diangkat menyambut hunjamanku dan tubuhnya bergetar, pelukan tangan dan jepitan kakinya semakin erat sampai aku merasa kesulitan bernafas, denyutan di dalam vaginanya terasa kuat sekali meremas kejantananku. Setelah satu menit denyutannya masi h terasa sampai penisku terasa ngilu.
Ketika penisku mau kucabut dia menahan tubuhku.
"Ja ngan dicabut dulu, biarkan saja di dalam. Ouhh kamu hebat sekali Anto. Terima kasih kamu telah memuaskanku" Ida mengecup bibirku.
Kubiarkan dia memelukku sampai penisku mengecil dan akhir nya keluar sendiri dari vaginanya. Malam itu dalam waktu kurang lebih tujuh jam kami bertempur sampai enam ronde. Paginya dia memelukku dan berkata,
"Aku mau lagi di lain hari".
"Ah kamu nakal, perjakaku kamu ambil".
"Kamu yang nakal, kamu yang mulai".
Kupeluk dia dan kuangkat ke kamar mandi untuk mandi dan membersihkan diri. Akhirnya kuantar dia pulang dan aku berjanji untuk datang lagi ke rumahnya. Ternyata dia tinggal serumah dengan beberapa teman-temannya. Se muanya wanita, sebagian janda dan sebagian lagi masih gadis. Mereka masing-masing punya pekerja an tetap.
Sampai di Sukasari Theatre ternyata film sudah diputar se tengah jam.
"Sekarang bagaimana?" tanyaku.
"Terserah kamu saja".
Kuajak dia jalan mutar- mutar di Matahari lihat-lihat baju dan kosmetik. Akhirnya dia ngajak minum jamu di kedai dekat jalan. Tiba-tiba saja dia menggandeng lenganku berjalan ke kedai jamu tersebut.
"Mau minum s ari rapet" godaku.
"Nggak ah, saya biasanya minum sehat wanita saja".
Akhirnya dia pesan ja mu sehat wanita dan aku minum sehat lelaki. Setelah minum jamu duduk-duduk sebentar di sana dan kami kembali ke Sukasari Theatre. Tak berapa lama loket buka.
"Jadi nonton?" tanyaku, "Tent u saja jadi, buat apa nunggu lama-lama di sini?".
Aku ke loket beli tiket. Dan kembali duduk di sampingnya di lobby. Suasana kelihatan sepi, hanya ada beberapa orang saja yang duduk-duduk di lobby. Sukasari Theatre memang bukan bioskop favorit di Bogor. Kalah sama Sartika 21 yang b aru dibuka.
Akhirnya kami masuk ke dalam bioskop, kemudian film mulai diputar. Beberapa lama kemudian tangannya menyusup ke lenganku. Aku diam saja. Ida semakin merapat. Aku berpaling dan menatap wajahnya. Ia tersenyum dan membuka mulutnya sedikit. Tampak giginya yang berderet rapi . Ia menyorongkan mukanya ke arahku dan mencium pipiku. Aku sedikit kaget atas tindakannya. Aku melepaskan tangannya dari lengan kiriku, lalu kulingkarkan ke bahu kirinya. Muka kami berdekat an. Kutatap lagi wajahnya dan perlahan-lahan muka kami saling mendekat. Matanya agak terpejam d an mulutnya terbuka. Kukecup bibirnya pelan dan lama-lama menjadi ciuman yang dalam. Kacamatany a menghalangi aksiku, kuminta dia melepas kacamatanya. Kuremas dada sebelah kirinya dari luar b aju dengan tangan kiriku. Ia menolak dan menepiskan tanganku, tetapi dibiarkan tanganku memeluk bahunya.
Praktis kami nggak konsentrasi lagi ke cerita film yang sedang diputar. Sepanjang pemutaran film itu kami saling merapat dan berciuman. Kadang-kadang lidah kami saling mendesak ke dalam rongga mulut, bergantian kadang lidahnya menggelitik rongga mulutku, kadang lidahku ya ng masuk ke dalam mulutnya. Ia mendesah menahan dorongan nafsunya yang tertahan sekian lama.
Film habis, kami keluar dan berjalan mencari angkutan.
"Kalau sudah malam begini dari sini susah cari angkutan ke rumahku " katanya.
"Jadi bagaimana?"
"Kita coba saja ke Ramayana, nant i disambung lagi".
Akhirnya kami dapat angkutan, tetapi hanya sampai Pajajaran saja. Kami tu run di depan pintu Kebun Raya yang di Pajajaran. Kami menungu lagi di situ.
"Jam segini ngga k ada lagi angkutan ke Warung Jambu kali ya?" tanyaku.
"Kelihatannya sih nggak ada lagi. Kita cari penginapan saja yuk, saya pernah nginap rame-rame dengan teman-teman di satu penginapan. A gak murah, tapi saya lupa tempatnya".
Sekilas terpikir olehku Wisma T dekat Pasar Kebon Kemb ang.
"Benar nih mau nginap? Saya tahu ada penginapan yang bersih dan murah".
Setelah lima belas menit menunggu ada mobil omprengan plat hitam berhenti di depan kami.
"Kemana Pak? Ma ri saya antar" tanya sopir sambil membuka kaca jendelanya.
Kami naik dan minta diantar ke Wi sma T. Sampai di sana ternyata hanya ada kamar standar double bed. Setelah menyelesaikan bill, kami berdua masuk ke kamar. Di dalam kamar kami rapatkan dua bed yang ada. Karena agak gerah ku buka kausku. Ida hanya memandang dan tersenyum saja. Kami berbaring berdampingan di bed masing- masing.
"Boss-nya yang punya showroom orang mana sih?"
"Keturunan Arab" Jawabnya.
"Asyik d ong pasti gede punya barangnya. Kamu sering diajak sama boss dong ".
"Nggak pernah kok". Entah dia berbohong atau benar.
"Terus kalau tiba-tiba kepengen gimana?" Ida hanya diam saja.
Id a bangun dan kulihat dia membuka celana panjangnya.
"Eh ngapain dibuka?" kataku terkejut.
Ida hanya tersenyum saja. Ternyata dia mengenakan celana pendek santai sebatas lutut di dalamn ya. Kembali Ida berbaring di bednya. Karena kedua bed sengaja kami susun berhimpitan, tanganku bisa menjangkau tubuhnya dan kurengkuh mendekat tubuhku. Kembali kami berciuman. Mula-mula hany a kukecup bibirnya saja dengan lembut. Ida membalas lembut dan lama kelamaan mulai menjadi liar . Tangannya memainkan bulu dadaku. Beberapa menit kami saling berciuman dengan dengus napas yan g berat. Kutindih dia sambil berciuman. Meriamku di bawah mulai bangkit. Ida merapatkan selangk angannya pada selangkanganku. Mulutku turun ke atas dadanya dan kucoba membuka kancing blouse n ya dengan bibirku dan gigiku.
"Sebentar, aku buka dulu bajuku ya," Katanya sambil membuka ka ncing bajunya satu persatu.
"Jangan, nggak usah dibuka" kataku sambil menahan tangannya.
"Ngg ak apa-apa kok. Kamu mau kan". Katanya mendesah.
Ia terus membuka baju dan celana pendeknya. Kemudian tangannya membuka ikat pinggangku dan akhirnya menarik ritsluiting dan kemudian denga n perlahan ia menarik celanaku ke bawah. Kini kami hanya mengenakan pakaian dalam saja.
"Kam u sering mengajak perempuan untuk begini ya?" tanyanya.
"Ah nggak, aku belum pernah kok berhub ungan dengan wanita" kataku berbohong. Aku memang sudah beberapa kali berhubungan dengan wanita .
"Nggak percaya, kelihatannya kamu lihai sekali dalam bercumbu tadi".
"Kalau sebatas ciuman emang sih, tapi untuk lebih jauh lagi belum pernah. Paling hanya nonton film dan baca cerita sa ja"
"Jadi kamu masih perjaka?" ia meyakinkan lagi.
"Emangnya kenapa?"
"Eehhngng.." Ia mendes ah ketika lehernya kujilati.
Ida menindihku dan tangannya kebelakang punggungnya membuka pen gait bra-nya. Kini terbukalah dadanya di hadapanku. Buah dadanya tidak besar, hanya pas setangk upan jariku. Terasa sudah agak kendor. Ida mendorong lidahnya masuk jauh ke dalam rongga mulutk u. Lidahnya liar memainkan lidahku. Aku hanya pasif saja, sesekali membalas mendorong lidahnya. Tanganku memilin puting serta meremas payudaranya. Ida menggeserkan tubuhnya ke bagian atas tu buhku sehingga payudaranya pas di depan mulutku. Segera kuterkam payudaranya dengan mulutku. Pu tingnya kuisap pelan dan kugigit kecil.
"Aaacchh, teruskan Anto.. Teruskan". Ia mulai menger ang dan meracau, punggungnya melengkung ke belakang.
Meriamku semakin keras. Ida semakin mer apatkan selangkangannya pada selangkanganku, sehingga kadang terasa agak sakit jika dia terlalu keras menindihku. Puting dan payudaranya semakin kencang dan keras. Kukulum payudaranya sehing ga semuanya masuk ke dalam mulutku, sambil putingnya terus kumainkan dengan lidahku. Dadanya te rlihat memerah dan menjadi lebih gelap dibanding bagian tubuh lainnya pertanda nafsunya mulai t erbakar. Napasnya tersengal-sengal.
Tangan Ida bergerak ke bawah menyelusup di balik celana dalamku, meremas, mengocok dan menggoyang-goyangkan senjataku. Akhirnya dia menarik celana dala mku sampai ke lutut dan dengan bantuan jari kakinya ia melepaskannya ke bawah. Kini aku dalam k eadaan telanjang bulat. Ida menggeserkan mulutnya ke arah bawah, menjilati leher dan menggigit kecil daun telingaku. Hembusan napasnya terasa kuat menerpa tubuhku. Dia mulai menjilati puting ku. Aku terangsang hebat sekali sehingga harus menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menahan rang sangan ini. Kupeluk pinggangnya erat-erat.
Tangannya kemudian membuka celana dalamnya sendir i. Kini tangan kiriku leluasa bermain di antara selangkangannya. Rambut kemaluannya tidak begit u lebat dan pendek-pendek. Dengan jari telunjuk dan jari manis kubuka labia mayora dan labia mi noranya. Jari tengahku menekan bagian atas organ kewanitaannya dan mengusap bagian yang menonjo l seperti kacang tanah. Setiap aku mengusap kelentitnya Ida menggigit kuat dadaku dan mengerang tertahan.
"Aaauhh.. Ngngnggnghhk"
Mulutnya bergerak semakin ke bawah, bermain-main denga n bulu dada dan perutku, terus semakin ke bawah, menjilati bagian dalam lutut dan pahaku. Sendi -sendi kakiku terasa mau lepas. Tangannya masih bermain-main di kejantananku. Kini mulutnya mul ai menjilati kantung penisku. Tanganku meremas-remas rambutnya untuk mengimbanginya. Aku pikir dia mau meng-oral, tetapi ternyata tidak, dia hanya sampai pada kantung penis saja. Aku hanya m enunggu dan mengimbangi gerakannya saja, seolah-olah aku belum pernah melakukan hal ini.
Kem bali Ida bergerak ke atas, tangan kirinya memegang dan mengusap kejantananku yang telah berdiri mengeras. Ia dalam posisi jongkok di atas selangkanganku. Perlahan lahan ia menurunkan pantatn ya sambil memutar-mutarkannya. Agak susah dia kelihatannya berusaha memasukkan kejantananku ke liang vaginanya. Mungkin benar juga setelah menjanda dia tidak pernah merasakan lagi nikmatnya berhubungan badan. Penisku memang lebih besar di bagian ujung daripada pangkalnya. Kepala kejan tananku dijepit dengan kedua jarinya, digesek-gesekkan di mulut vaginanya. Terasa hangat dan le mbab, lama-lama seperti berair. Dia mencoba lagi untuk memasukkan kejantananku. Kali ini..
B lleessh.. Usahanya berhasil.
"Ouhh.. Ida ouhh" kini aku yang setengah berteriak.
Ida berg erak naik turun dalam posisi setengah jongkok. Mula-mula perlahan-lahan dia menggerakkannya, ka rena memang terasa masih agak kesat dan kering. Aku mengimbanginya dengan memutar pinggulku dan meremas payudaranya. Kepalanya mendongak ke atas dan bergerak ke kanan kiri. Kedua tangannya b ertumpu pada pahaku. Ketika lendirnya sudah membasahi organnya Ida mempercepat gerakannya, kada ng-kadang dibuatnya tinggal kepala penisku saja yang menyentuh mulut vaginanya.
Ida menghent ikan gerakannya, merebahkan tubuhnya di atasku dan kini terasa otot vaginanya meremas penisku. Terasa nikmat sekali. Aku mengimbanginya, ketika dia relaksasi aku yang mengencangkan otot peru tku seolah-olah menahan kencing. Demikian bergantian kami saling meremas dengan otot kemaluan k ami. Beberapa saat kami dalam posisi itu tanpa menggerakkan tubuh, hanya otot kemaluan saja yan g bekerja sambil saling berciuman dan memagut tubuh kami.
"Anto, .. Nikmat sekali .. Ooouuhh " desisnya sambil menciumi leherku.
Ida berguling ke samping, kini dalam posisi menyamping a ku yang bergerak maju mundur menyodokkan kejantananku ke dalam vaginanya. Dalam posisi ini gera kanku menjadi kurang nyaman dan kurang bebas. Kugulingkan lagi tubuhnya, kini aku yang berada d i atas. Kuatur gerakanku dengan ritme pelan namun dalam sampai kurasakan kepala penisku menyent uh mulut rahimnya. Kuangkat penisku sampai keluar dari vaginanya dan kumasukkan lagi dengan pel an, demikian berulang-ulang. Ketika penisku menyentuh rahimnya Ida mengangkat pantatnya sehingg a tubuh kami merapat.
"Lebih cepat lagi, oohh.. Aku mau keluar aacchhkk.." Ida memeluk pungg ungku lebih erat. Betisnya membelit pinggangku, matanya setengah terpejam, kepalanya terangkat sehingga seolah-olah tubuhnya menggantung di tubuhku.
Kuubah ritmeku, kugerakkan dengan pela n namun hanya ujung penisku saja yang masuk beberapa kali kemudian sekali kutusukkan dengan cep at sampai seluruh batang terbenam. Matanya semakin sayu dan gerakannya semakin liar. Aku mendad ak menghentikan gerakanku. Payudaranya sebelah kuremas dan sebelah lagi kukulum dalam-dalam. Tu buh Ida bergetar seperti menangis.
"Ayo jangan berhenti, teruskan.. Teruskan lagi" pintanya.
Aku tahu wanita ini hampir mencapai puncaknya. Kugerakkan lagi tubuhku. Kali ini dengan rit me yang cepat dan dalam. Semakin lama semakin cepat. Terdengar bunyi seperti kaki diangkat dari dalam lumpur ketika penisku kunaikturunkan dengan cepat.
"Ayolah Anto, aku mau sampai ".
Gerakan pantatku semakin cepat dan akhirnya
"Sekarang.. Anto.. Sekarang.. Yeeah!!"
Kuras akan tubuhnya menegang, vaginanya berdenyut dengan cepat, napasnya tersengal dan tangannya mere mas rambutku. Kukencangkan otot perutku dan kutahan, terasa ada aliran lahar yang mau meledak. Aku berhenti sejenak dalam posisi kepala penis saja yang masuk dalam vaginanya, kemudian kuhemp askan dalam-dalam. Serr.. Seerr beberapa kali laharku muncrat di dalam vaginanya. Ida hendak be rteriak untuk menyalurkan rasa kepuasannya, namun sebelum keluar suaranya kusumbat mulutnya den gan bibirku.
"MMmmhh.. Achh" pantatnya diangkat menyambut hunjamanku dan tubuhnya bergetar, pelukan tangan dan jepitan kakinya semakin erat sampai aku merasa kesulitan bernafas, denyutan di dalam vaginanya terasa kuat sekali meremas kejantananku. Setelah satu menit denyutannya masi h terasa sampai penisku terasa ngilu.
Ketika penisku mau kucabut dia menahan tubuhku.
"Ja ngan dicabut dulu, biarkan saja di dalam. Ouhh kamu hebat sekali Anto. Terima kasih kamu telah memuaskanku" Ida mengecup bibirku.
Kubiarkan dia memelukku sampai penisku mengecil dan akhir nya keluar sendiri dari vaginanya. Malam itu dalam waktu kurang lebih tujuh jam kami bertempur sampai enam ronde. Paginya dia memelukku dan berkata,
"Aku mau lagi di lain hari".
"Ah kamu nakal, perjakaku kamu ambil".
"Kamu yang nakal, kamu yang mulai".
Kupeluk dia dan kuangkat ke kamar mandi untuk mandi dan membersihkan diri. Akhirnya kuantar dia pulang dan aku berjanji untuk datang lagi ke rumahnya. Ternyata dia tinggal serumah dengan beberapa teman-temannya. Se muanya wanita, sebagian janda dan sebagian lagi masih gadis. Mereka masing-masing punya pekerja an tetap.
Beberapa minggu kemudian ketika hari libur aku ke rumahnya. Ternyata rumahnya kosong. Kata tetangganya semua nya lagi ke Cibadak. Aku pulang lagi. Beberapa hari kemudian aku kembali ke rumahnya. Kuketuk pintu depan. T ak lama pintu terbuka dan seorang wanita keluar dari dalam.
"Cari siapa ya?" tanyanya.
"Ida ada?"
"Oh a da. Silakan masuk dulu, dia lagi di kamar".
Aku masuk dan duduk di ruang tamu. Wanita tadi, temannya, mas uk ke ruang dalam. Tak lama Ida keluar. Wajahnya terlihat berantakan.
"Sorry, habis baring-baring di kama r. Habis mandi agak siang tadi lalu mengantuk" katanya sambil mengulurkan tangannya. "Kok nggak pernah ke si ni lagi?".
Kusambut tangannya dan "Waktu libur kemarin aku ke sini tapi kosong, nggak ada orang sebiji ac an. Kata tetangga sebelah ke Sukabumi".
"Iya, memang waktu itu rame-rame ke rumah teman kost di sini. Ke Ci badak beberapa hari. Tunggu sebentar aku ambilkan air" katanya sambil berlalu.
"Nggak usah repot-repot".
" Ah. Nggak kok cuma air putih saja".
Ia kembali dengan membawa nampan berisi segelas air putih. Mukanya te rlihat sudah lebih rapi.
"Diminum ya, cuma air putih. Nggak ada temannya".
"Cukup kok, terima kasih" jaw abku sambil meminum air di dalam gelas sampai setengahnya.
Ida menarik kursi dan duduk di dekatku. Ia ter senyum-senyum. Mungkin membayangkan peristiwa waktu itu.
"Kenapa senyum-senyum sendiri. Bahaya, nanti ket erusan" kataku.
"Ah nggak, cuma.. Hmm" Ia tidak melanjutkan kalimatnya.
"Mau diulangi di sini?"
"Hussh, n ggak enak sama teman-teman. Prinsipnya sih mereka nggak mau campur urusan orang, tapi jangan di sini".
"Kal au begitu kita jalan aja yuk!" ajakku.
"Boleh, tapi tunggu sebentar aku ganti baju dulu" katanya sambil ber jalan.
Ida keluar lagi. Kami jalan dan nonton lagi di Sukasari Theatre. Hanya kali ini nggak ada kesempat an untuk "pemanasan". Ada penonton lain di samping dan belakang kami. Selesai film diputar, kami keluar.
"Kemana sekarang kita, Da?"
"Terserah kamu. Aku ikut saja kok".
Kupegang tangannya "Da, aku mau belajar la gi sama kamu, boleh nggak?"
"Dimana?" Ida balik tanya.
"Kita ke Gadog. Nginap di sana, tapi sebentar ya ak u ke apotik dekat situ!"
"Mau beli apa ke apotik?"
"Aku takut kamu hamil, jadi cari pengaman dulu, sarung karet".
"Nggak usah. Aku nggak mau kalau pakai itu" nada suaranya meninggi.
"Kenapa, kan supaya kita sama- sama aman".
"Aku percaya kamu bersih dan aku masih ikut KB. Aku belum lepas spiral. Makanya waktu itu aku b erani aja. Berapa kali kita waktu itu, tiga atau empat kali kan?" suaranya kembali merendah.
"Enam kali. Ya sudah kalau begitu. Ayo kita berangkat!"
Kami berangkat ke Gadog. Sampai di Gadog kuajak dia ke salah sa tu wisma yang ada. Ida menunjukkan raut muka heran. Kami masuk ke kamar. Room boy mengiringkan kami dengan m embawa handuk dan air putih di teko. Setelah room boy keluar Ida menuangkan air ke dalam gelas yang tersedia , meminumnya sedikit dan mengisinya kembali hingga penuh, menutup lalu meletakkannya pada meja kecil di samp ing bed. Kurogoh kantungku, masih ada permen mint beberapa butir, kuletakkan di dekat gelas.
"Kamu sering ke sini?"
"Nggak juga, cuma pernah rame-rame dengan teman nginap di sini".
"Kamu bayar penuh nginap satu malam?".
"Iya, tapi dapat diskon, kurayu penjaganya. Aku mau mandi dulu, kamu nggak mandi?"
"Sudah tadi ma ndi di rumah agak siangan".
Ida melepas celana panjangnya. Baru kuperhatikan bahwa ternyata dia mengenaka n baju yang sama dengan pakaian yang dipakai pada pertemuan yang dulu.
"Kamu pakai pakaian yang sama deng an waktu itu " komentarku.
Aku melepas baju dan celana panjang, ke kamar mandi berlilitkan handuk. Selesa i mandi kembali ke kamar, aku masih berlilitkan handuk tanpa pakai celana dalam lagi. Kulihat Ida di bawah s elimut, bagian bahunya terbuka. Aku ikut masuk ke bawah selimut dan melepas handuk yang kukenakan. Ternyata Ida sudah full bugil di bawah selimut. Kucium lembut bibirnya, kami saling merapatkan badan. Udara di Gadog cukup dingin, apalagi setelah mandi. Badanku beberapa kali menggigil.
"Dingin ya?" tanya Ida.
"Lumayan, tapi sekarang sudah mulai hangat".
Tanganku mulai gerilya, merayap di sekujur tubuhnya. Kurasakan kehanga tan merayap ditubuhku. Adik kecilku mulai bangun, kurapatkan pada pahanya. Ia tertawa kecil, merasakan adik kecilku yang mendesak dan bergerak membesar di pahanya. Selimut yang menutupi tubuh kami tersingkap semuanya sehingga tubuh kami terbuka tanpa ada penutup selembar benangpun.
"Matikan lampunya, kain kordennya berl ubang-lubang. Nanti diintip orang!" katanya.
"Nggak usah, aku ingin bercinta sambil melihat wajahmu. Kalau ada yang ngintip paling dia nanti yang kepingin. Biarin aja".
Kami mulai berciuman. Gerak tubuhnya mengis yaratkan keinginannya. Kujilati leher dan dagu kemudian kucium bagian belakang telinganya. Ia menggelinjang.
"Merinding ah, kamu kok jadi pintar. Jangan-jangan selama ini belajar dengan perempuan lain".
"Nggak ko k, cukup satu gurunya".
Kubalikkan tubuhnya sehinga dia memunggungiku. Kugigit tengkuknya dan kususuri pu nggungnya dengan lidahku. Ia merintih perlahan. Kurasakan ia semakin terangsang. Kubalikkan tubuhnya dan kut indih setengan tubuhnya.
Kembali kami berciuman. Kali ini dengan nafsu yang membara. Suara-suara kecipak dan desahan tertahan terdengar ketika kedua mulut kami beradu dan saling menyedot. Lehernya kucium dan kujil at, ia makin mendongakkan kepalanya memberi kesempatan kepadaku untuk menjelajahi lehernya. Tangannya mengus ap pipi, leher kemudian punggungku sampai ke dekat pinggang dan berputar menggesekkan kukunya perlahan pada kulitku, memberikan sensasi tersendiri. Sementara tangan kirinya mengusap punggung, tangan kanannya mulai me ngelus kantung zakar dan mengurut batangku mulai dari pangkal ke ujungnya. Mr. P-ku makin menegang dan membe sar. Ida berguling sehingga kini ia di atas. Tangannya masih mengurut senjataku.
Ia melepaskan diri dari pelukanku dan membuka tasnya. Kulihat ia mengambil sesuatu, ternyata adalah baby oil dan eau de toilette. Id a duduk di samping pinggangku menghadap ke arah kepalaku. Ia menuangkan sedikit baby oil ke tangan kanannya dan kembali mengurut senjataku.
"Aduh.. Achh, luar biasa nikmat. Ternyata masih ada pelajaran baru yang a ku belum tahu".
Kupegang tangannya menahan kenikmatan. Dilepaskannya tanganku "Sudah, kamu diam saja. Jan gan ganggu aku. Kalau nggak tahan pegangan kasur dan gigit ujung bantal saja. Kalau terasa mau keluar bilang ".
Kuikuti perintahnya. Diurutnya terus penisku yang makin keras. Kepalanya yang besar kelihatan memerah dan mengkilat terkena baby oil. Aku makin terlena, kadang kuangkat pantatku menahan rangsangan yang luar bia sa.
"Ouhh Ida.. Aku mau keluar, aku mau ke.. Lu.. ar".
Ida menggenggam dan merenggut kantong penisku d engan perlahan. Kurasakan rangsangan itu menurun pelan-pelan. Ida melepaskan genggamannya pada batang penisk u. Kini dengan kedua tangannya ia mengurut pinggangku dari bagian luar ke bawah dalam ke arah penis. Beberap a menit ia lakukan itu. Kemudian ia menuangkan eau de toilette dan mencampurnya dengan sedikit baby oil lalu mengusapkannya pada dada dan perutku. Setelah itu dia berbaring miring menghadap ke arahku. Kuremas payudar anya yang sebelah kanan dengan kuat karena gemas. Ia tersenyum kecil dan menggelinjang.
"Sudah istirahatl ah dulu, rileks dan buat pikiranmu menjadi santai. Hilangkan pikiran yang merangsang. Masih ada babak beriku tnya".
Ida berbaring telentang di sampingku dan menutupkan matanya. Ditariknya kembali selimut yang tadi sudah terlepas untuk menutup tubuh kami berdua. Aku mencoba untuk rileks dan menghilangkan bayangan dan piki ran yang merangsang. Agak susah memang tapi terus kucoba sambil menarik nafas dalam-dalam. Harumnya eau de t oillette sangat membantu untuk menenangkan pikiranku. Lama-lama pikiranku menjadi tenang. Kulihat tarikan na fas Ida teratur, tetapi aku tahu ia tidak tidur meskipun matanya terpejam. Setengah jam lebih berlalu.
Id a bangun kemudian ke kamar mandi, dalam keadaan polos. Ketika keluar kulihat ia membawa air dalam gayung, sa bun dan handuk kecil. Ia duduk di sampingku dan membasuh penisku dan menyabuninya sampai bekas baby oil tadi hilang, kemudian mengelapnya dengan hati-hati. Setelah selesai ia ke kamar mandi membuang air dalam gayung tadi.
"Ayo kita masuk babak berikutnya!" Katanya ketika kembali dari kamar mandi.
Aku berpikir apalagi yang akan dilakukannya. Ia membuka selimut yang masih menutup tubuhku, menindih dan menciumiku dengan ganas . Harumnya eau de toilette masih tercium. Aku kembali terangsang dengan cepat oleh aksinya. Ia memberi isyar at agar aku berada di atas. Adikku yang terangsang sudah mengacung dan siap menembus guanya. Ida memegang pe nisku dan mengarahkannya ke lubangnya yang agak lembab. Kedua kakinya mengangkang lebar dengan lutut agak di angkat. Kali ini penisku bisa langsung masuk dan menerobos ke dalam hingga tenggelam sampai ke pangkalnya. I da memegang pinggulku dan membantu menggerakkannya ke atas ke bawah. Kupacu kuda betinaku mendaki lereng ken ikmatan. Gerakan kami semakin liar. Erangan dan lenguhan kami semakin kuat dan sering. Sampai akhirnya aku m erasakan hampir sampai ke puncak kenikmatan. Kupercepat gerakan naik turunku sambil mendesah.
"Ida.. Ouuh h.. Ida, kita sama-sama.. ".
Berbeda dengan kehendakku, Ida malahan mendorong tubuhku dan melepaskan pelu kanku. Aku menolaknya.
"Apa-apaan kamu Da!" kataku kecewa. "Sudahlah lepaskan aku dulu, aku akan memberik anmu sesuatu yang luar biasa malam ini. Percayalah" katanya lembut sambil mengecup keningku.
Aku berbarin g menjauhi tubuhnya dengan hati kecewa dan penuh tanda tanya. Ida mencoba menghiburku.
"Berikutnya aku ak an memberikan kepuasan yang lain yang belum pernah kamu peroleh". Aku masih diam saja.
"Sekarang istirahatl ah lagi agak lama dari yang tadi," sambil berkata begitu jari tangannya memegang erat jari tanganku. Aku men urut saja dan berpikir lagi, pastilah dia tidak bermaksud untuk mengecewakanku. Tapi apa berikutnya?
Kuli hat kali ini Ida benar-benar tertidur. Akhirnya aku mencoba juga untuk tidur. Sempat kulirik arlojiku. Jam s epuluh lewat sedikit. Beberapa lama kemudian entah karena dongkol atau lelah karena perasaan "menggantung" a kupun tertidur.
Entah berapa lama aku tertidur sampai aku merasakan ada tubuh yang mendesakku dengan lemb ut. Ida sudah bangun rupanya. Dadanya meskipun kecil tapi masih terasa menekan lenganku. Aku terkejut,
"J am berapa sekarang?" tanyaku.
"Jam dua belas lewat" jawabnya.
Berarti sudah dua jam aku tertidur. Ida me nggapai gelas yang ada di meja kecil dekat ranjang, meneguk airnya dan memberikannya padaku.
"Minum dulu, mulut orang habis bangun tidur bau ".
"Siapa bilang?" kataku sambil mengambil permen yang kuletakkan di de kat gelas tadi, membuka bungkusnya dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Ih curang, bagi dong permennya" katan ya sambil menciumi bibirku. Kami saling memainkan permen tadi, bergantian mengulumnya sampai akhirnya habis.
Ida di atasku, menciumi dadaku dan menjilati putingku. Diganjalnya kepalaku dengan bantal satu lagi sehi ngga kepalaku agak ke atas. Aku tidak tahan dengan aksinya sehingga kutarik mukanya ke mukaku. Kami berciuma n dengan penuh gairah. Kaki kami saling menjepit, kakiku menjepit kaki kirinya dan kakinya juga menjepit kak i kiriku. Kugesekkan selangkanganku pada pahanya. Ia mendesah. Gantian sekarang selangkangannya yang mengges ek pahaku.
Kami makin terbuai dengan gerakan masing-masing. Kini kedua kakinya menjepit kakiku. Sementara penisku yang dari tadi penasaran sudah kembali mengeras. Dalam posisi di atasku sambil menahan tubuh dengan tangannya Ida menggerak-gerakkan pinggulnya mencoba memasukkan penisku ke dalam liang kenikmatannya tanpa b antuan tangannya. Agak sulit memang, tapi ketika kepala penisku sudah mulai masuk ke dalam liang vaginanya i a memutar-mutar pinggulnya sambil menekan ke bawah. Kurasakan gerakan peristaltik yang kuat dari otot kemalu annya. Sampai kemudian seluruh batang penisku terbenam dalam vaginanya. Ia masih memutar-mutar pinggul dan m embuat gerakan naik turun. Aku meremas, memilin serta mengulum payudaranya. Kami saling berbagi kenikmatan d engan posisi seperti itu.
"Ouh.. Mmmhh.. Ngngngnhhk" Ida mendesah tertahan.
Aku mencoba duduk dengan I da tetap dalam pangkuanku. Kami bisa berpelukan dan berciuman dengan sangat intens. Ida tetap menggerakkan p inggulnya naik turun. Penisku terasa seperti dikocok-kocok.
Kurebahkan Ida ke arah yang berlawanan dengan posisi tidur semula, sehingga kini bantal berada di posisi kaki. Kugenjot pinggulku naik turun dengan ritme yang berubah-ubah. Kadang cepat kadang sangat lambat. Tapi setiap gerakanku selalu kubuat agak tinggi sehin gga penisku terlepas dari vaginanya, lalu kutekan lagi. Setiap penisku dalam posisi masuk, menggesek bibir v aginanya ia terpekik kecil. Kami berdua sangat menikmati permainan ini.
Kakinya bergerak dan kedua kakiny a kujepit dengan kedua kakiku. Dalam posisi begini aku tidak bisa menarik penis terlalu tinggi karena susah untuk memasukkannya lagi. Namun dalam posisi begini jepitan vaginanya jadi sangat terasa.
Kami mengubah p osisi lagi. Kali ini kaki kirinya di luar kaki kananku dan kaki kanannya di dalam kaki kiriku. Kubelit kaki kirinya dengan kaki kananku dan sebaliknya. Dengan posisi begini kami bisa menghemat gerakan. Dengan sedikit gerakan saja rangsangan kenikmatan yang timbul sangat terasa. Kadang kami hanya diam saja dan cukup mengger akkan otot kemaluan kami untuk saling memberi rangsangan. Ketika kurasakan akan mencapai puncak kenikmatan k uubah posisi kaki dalam posisi konvensional. Posisi konvensional ini paling memungkinkan bagi kami untuk men gekspresikan puncak kepuasan secara maksimal.
"Ida.. Ouhh nikmat sekali, hebat sekali permainanmu.. "
Kuperkirakan sudah setengah jam kami bercinta, namun terasa ada energi tambahan yang membuat kami bertahan u ntuk tidak segera mencapai puncak. Kupercepat gerakanku dan gerakannya juga semakin liar.
"Agak ke atas s edikit.. Oooh" pintanya.
Kuikuti saja permintaanya. Aku menggeser tubuhku agak ke atas bagian tubuhnya, s ehingga gerakan penisku menggesek bagian atas vaginanya. Rupanya dengan posisi ini gesekan penisku dengan kl itorisnya mebuat dia sangat nikmat. Tubuhnya kadang seakan merinding dan gemetar. Pinggulnya memutar-mutar d an naik seakan-akan menghisap penisku.
Bunyi deritan ranjang, erangan dan bunyi selangkangan beradu seaka n-akan berlomba. Tubuh kami sudah basah oleh keringat yang membanjir. Dinginnya udara Puncak tak terasa lagi . Kurasakan ada gerakan menjalar dalam penisku. Inilah saatnya sebentar lagi akan kuakhiri permainan ini. Id a terengah-engah menikmati kenikmatan yang dirasakannya.
"Ida.. Da sebentar lagi aku mau keluar.. "
Ge rakanku semakin cepat hingga seakan-akan tubuhku melayang. Lututku mulai sakit.
"Ayolah Anto aku juga mma u kkel.. uar. Kita sama-sama sampai".
Ketika kurasakan aliran pada penisku tak tertahankan lagi kuunjamka n dalam-dalam sambil memekik tertahan.
"Ida.. Ouh .. Sekarang.. Sekarang"
"Ouh Anto aku.. Keluar"
Kak inya membelit kakiku, kepalanya mendongak dan pantatnya diangkat. Kurasakan denyutan dalam vaginanya sangat kuat. Kutembakkan laharku sampai beberapa kali. Giginya dibenamkan dalam bahuku sampai terasa pedih. Aku mer asakan hal yang luar biasa sepertinya melayang di udara dan rasanya cairan laharku menjadi lebih banyak. Nap as kami masih tersengal-sengal, kucabut penisku dan menggelosor di sampingnya. Jarinya memegang erat jariku.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Wouw.. Luar biasa" jawabku.
"Aku baca dari sebuah buku tentang teknik pijatan untuk melancarkan aliran darah ke penis dan memperbanyak tembakan mani".
"Pantas saja, rasanya maniku sanga t banyak dan senjataku sangat keras. Terima kasih Ida".
Kami tidur sampai pagi dan rasanya cukup sekali s aja kami bercinta dalam semalam kalau kepuasan yang didapat luar biasa seperti kali ini. Kuantarkan Ida kemb ali ke rumahnya. Temannya yang membukakan pintu kemarin tersenyum-senyum dan melirik genit ke arahku.
"Bo leh dong lain kali ajak kita, masakan Ida terus yang diajak. Kita punya oke juga lho" katanya sambil melihat ke arah Ida sambil meleletkan lidahnya.
"Silakan aja kalau Antonya mau".
Hmm, dipikir kita takut.
"Cari siapa ya?" tanyanya.
"Ida ada?"
"Oh a da. Silakan masuk dulu, dia lagi di kamar".
Aku masuk dan duduk di ruang tamu. Wanita tadi, temannya, mas uk ke ruang dalam. Tak lama Ida keluar. Wajahnya terlihat berantakan.
"Sorry, habis baring-baring di kama r. Habis mandi agak siang tadi lalu mengantuk" katanya sambil mengulurkan tangannya. "Kok nggak pernah ke si ni lagi?".
Kusambut tangannya dan "Waktu libur kemarin aku ke sini tapi kosong, nggak ada orang sebiji ac an. Kata tetangga sebelah ke Sukabumi".
"Iya, memang waktu itu rame-rame ke rumah teman kost di sini. Ke Ci badak beberapa hari. Tunggu sebentar aku ambilkan air" katanya sambil berlalu.
"Nggak usah repot-repot".
" Ah. Nggak kok cuma air putih saja".
Ia kembali dengan membawa nampan berisi segelas air putih. Mukanya te rlihat sudah lebih rapi.
"Diminum ya, cuma air putih. Nggak ada temannya".
"Cukup kok, terima kasih" jaw abku sambil meminum air di dalam gelas sampai setengahnya.
Ida menarik kursi dan duduk di dekatku. Ia ter senyum-senyum. Mungkin membayangkan peristiwa waktu itu.
"Kenapa senyum-senyum sendiri. Bahaya, nanti ket erusan" kataku.
"Ah nggak, cuma.. Hmm" Ia tidak melanjutkan kalimatnya.
"Mau diulangi di sini?"
"Hussh, n ggak enak sama teman-teman. Prinsipnya sih mereka nggak mau campur urusan orang, tapi jangan di sini".
"Kal au begitu kita jalan aja yuk!" ajakku.
"Boleh, tapi tunggu sebentar aku ganti baju dulu" katanya sambil ber jalan.
Ida keluar lagi. Kami jalan dan nonton lagi di Sukasari Theatre. Hanya kali ini nggak ada kesempat an untuk "pemanasan". Ada penonton lain di samping dan belakang kami. Selesai film diputar, kami keluar.
"Kemana sekarang kita, Da?"
"Terserah kamu. Aku ikut saja kok".
Kupegang tangannya "Da, aku mau belajar la gi sama kamu, boleh nggak?"
"Dimana?" Ida balik tanya.
"Kita ke Gadog. Nginap di sana, tapi sebentar ya ak u ke apotik dekat situ!"
"Mau beli apa ke apotik?"
"Aku takut kamu hamil, jadi cari pengaman dulu, sarung karet".
"Nggak usah. Aku nggak mau kalau pakai itu" nada suaranya meninggi.
"Kenapa, kan supaya kita sama- sama aman".
"Aku percaya kamu bersih dan aku masih ikut KB. Aku belum lepas spiral. Makanya waktu itu aku b erani aja. Berapa kali kita waktu itu, tiga atau empat kali kan?" suaranya kembali merendah.
"Enam kali. Ya sudah kalau begitu. Ayo kita berangkat!"
Kami berangkat ke Gadog. Sampai di Gadog kuajak dia ke salah sa tu wisma yang ada. Ida menunjukkan raut muka heran. Kami masuk ke kamar. Room boy mengiringkan kami dengan m embawa handuk dan air putih di teko. Setelah room boy keluar Ida menuangkan air ke dalam gelas yang tersedia , meminumnya sedikit dan mengisinya kembali hingga penuh, menutup lalu meletakkannya pada meja kecil di samp ing bed. Kurogoh kantungku, masih ada permen mint beberapa butir, kuletakkan di dekat gelas.
"Kamu sering ke sini?"
"Nggak juga, cuma pernah rame-rame dengan teman nginap di sini".
"Kamu bayar penuh nginap satu malam?".
"Iya, tapi dapat diskon, kurayu penjaganya. Aku mau mandi dulu, kamu nggak mandi?"
"Sudah tadi ma ndi di rumah agak siangan".
Ida melepas celana panjangnya. Baru kuperhatikan bahwa ternyata dia mengenaka n baju yang sama dengan pakaian yang dipakai pada pertemuan yang dulu.
"Kamu pakai pakaian yang sama deng an waktu itu " komentarku.
Aku melepas baju dan celana panjang, ke kamar mandi berlilitkan handuk. Selesa i mandi kembali ke kamar, aku masih berlilitkan handuk tanpa pakai celana dalam lagi. Kulihat Ida di bawah s elimut, bagian bahunya terbuka. Aku ikut masuk ke bawah selimut dan melepas handuk yang kukenakan. Ternyata Ida sudah full bugil di bawah selimut. Kucium lembut bibirnya, kami saling merapatkan badan. Udara di Gadog cukup dingin, apalagi setelah mandi. Badanku beberapa kali menggigil.
"Dingin ya?" tanya Ida.
"Lumayan, tapi sekarang sudah mulai hangat".
Tanganku mulai gerilya, merayap di sekujur tubuhnya. Kurasakan kehanga tan merayap ditubuhku. Adik kecilku mulai bangun, kurapatkan pada pahanya. Ia tertawa kecil, merasakan adik kecilku yang mendesak dan bergerak membesar di pahanya. Selimut yang menutupi tubuh kami tersingkap semuanya sehingga tubuh kami terbuka tanpa ada penutup selembar benangpun.
"Matikan lampunya, kain kordennya berl ubang-lubang. Nanti diintip orang!" katanya.
"Nggak usah, aku ingin bercinta sambil melihat wajahmu. Kalau ada yang ngintip paling dia nanti yang kepingin. Biarin aja".
Kami mulai berciuman. Gerak tubuhnya mengis yaratkan keinginannya. Kujilati leher dan dagu kemudian kucium bagian belakang telinganya. Ia menggelinjang.
"Merinding ah, kamu kok jadi pintar. Jangan-jangan selama ini belajar dengan perempuan lain".
"Nggak ko k, cukup satu gurunya".
Kubalikkan tubuhnya sehinga dia memunggungiku. Kugigit tengkuknya dan kususuri pu nggungnya dengan lidahku. Ia merintih perlahan. Kurasakan ia semakin terangsang. Kubalikkan tubuhnya dan kut indih setengan tubuhnya.
Kembali kami berciuman. Kali ini dengan nafsu yang membara. Suara-suara kecipak dan desahan tertahan terdengar ketika kedua mulut kami beradu dan saling menyedot. Lehernya kucium dan kujil at, ia makin mendongakkan kepalanya memberi kesempatan kepadaku untuk menjelajahi lehernya. Tangannya mengus ap pipi, leher kemudian punggungku sampai ke dekat pinggang dan berputar menggesekkan kukunya perlahan pada kulitku, memberikan sensasi tersendiri. Sementara tangan kirinya mengusap punggung, tangan kanannya mulai me ngelus kantung zakar dan mengurut batangku mulai dari pangkal ke ujungnya. Mr. P-ku makin menegang dan membe sar. Ida berguling sehingga kini ia di atas. Tangannya masih mengurut senjataku.
Ia melepaskan diri dari pelukanku dan membuka tasnya. Kulihat ia mengambil sesuatu, ternyata adalah baby oil dan eau de toilette. Id a duduk di samping pinggangku menghadap ke arah kepalaku. Ia menuangkan sedikit baby oil ke tangan kanannya dan kembali mengurut senjataku.
"Aduh.. Achh, luar biasa nikmat. Ternyata masih ada pelajaran baru yang a ku belum tahu".
Kupegang tangannya menahan kenikmatan. Dilepaskannya tanganku "Sudah, kamu diam saja. Jan gan ganggu aku. Kalau nggak tahan pegangan kasur dan gigit ujung bantal saja. Kalau terasa mau keluar bilang ".
Kuikuti perintahnya. Diurutnya terus penisku yang makin keras. Kepalanya yang besar kelihatan memerah dan mengkilat terkena baby oil. Aku makin terlena, kadang kuangkat pantatku menahan rangsangan yang luar bia sa.
"Ouhh Ida.. Aku mau keluar, aku mau ke.. Lu.. ar".
Ida menggenggam dan merenggut kantong penisku d engan perlahan. Kurasakan rangsangan itu menurun pelan-pelan. Ida melepaskan genggamannya pada batang penisk u. Kini dengan kedua tangannya ia mengurut pinggangku dari bagian luar ke bawah dalam ke arah penis. Beberap a menit ia lakukan itu. Kemudian ia menuangkan eau de toilette dan mencampurnya dengan sedikit baby oil lalu mengusapkannya pada dada dan perutku. Setelah itu dia berbaring miring menghadap ke arahku. Kuremas payudar anya yang sebelah kanan dengan kuat karena gemas. Ia tersenyum kecil dan menggelinjang.
"Sudah istirahatl ah dulu, rileks dan buat pikiranmu menjadi santai. Hilangkan pikiran yang merangsang. Masih ada babak beriku tnya".
Ida berbaring telentang di sampingku dan menutupkan matanya. Ditariknya kembali selimut yang tadi sudah terlepas untuk menutup tubuh kami berdua. Aku mencoba untuk rileks dan menghilangkan bayangan dan piki ran yang merangsang. Agak susah memang tapi terus kucoba sambil menarik nafas dalam-dalam. Harumnya eau de t oillette sangat membantu untuk menenangkan pikiranku. Lama-lama pikiranku menjadi tenang. Kulihat tarikan na fas Ida teratur, tetapi aku tahu ia tidak tidur meskipun matanya terpejam. Setengah jam lebih berlalu.
Id a bangun kemudian ke kamar mandi, dalam keadaan polos. Ketika keluar kulihat ia membawa air dalam gayung, sa bun dan handuk kecil. Ia duduk di sampingku dan membasuh penisku dan menyabuninya sampai bekas baby oil tadi hilang, kemudian mengelapnya dengan hati-hati. Setelah selesai ia ke kamar mandi membuang air dalam gayung tadi.
"Ayo kita masuk babak berikutnya!" Katanya ketika kembali dari kamar mandi.
Aku berpikir apalagi yang akan dilakukannya. Ia membuka selimut yang masih menutup tubuhku, menindih dan menciumiku dengan ganas . Harumnya eau de toilette masih tercium. Aku kembali terangsang dengan cepat oleh aksinya. Ia memberi isyar at agar aku berada di atas. Adikku yang terangsang sudah mengacung dan siap menembus guanya. Ida memegang pe nisku dan mengarahkannya ke lubangnya yang agak lembab. Kedua kakinya mengangkang lebar dengan lutut agak di angkat. Kali ini penisku bisa langsung masuk dan menerobos ke dalam hingga tenggelam sampai ke pangkalnya. I da memegang pinggulku dan membantu menggerakkannya ke atas ke bawah. Kupacu kuda betinaku mendaki lereng ken ikmatan. Gerakan kami semakin liar. Erangan dan lenguhan kami semakin kuat dan sering. Sampai akhirnya aku m erasakan hampir sampai ke puncak kenikmatan. Kupercepat gerakan naik turunku sambil mendesah.
"Ida.. Ouuh h.. Ida, kita sama-sama.. ".
Berbeda dengan kehendakku, Ida malahan mendorong tubuhku dan melepaskan pelu kanku. Aku menolaknya.
"Apa-apaan kamu Da!" kataku kecewa. "Sudahlah lepaskan aku dulu, aku akan memberik anmu sesuatu yang luar biasa malam ini. Percayalah" katanya lembut sambil mengecup keningku.
Aku berbarin g menjauhi tubuhnya dengan hati kecewa dan penuh tanda tanya. Ida mencoba menghiburku.
"Berikutnya aku ak an memberikan kepuasan yang lain yang belum pernah kamu peroleh". Aku masih diam saja.
"Sekarang istirahatl ah lagi agak lama dari yang tadi," sambil berkata begitu jari tangannya memegang erat jari tanganku. Aku men urut saja dan berpikir lagi, pastilah dia tidak bermaksud untuk mengecewakanku. Tapi apa berikutnya?
Kuli hat kali ini Ida benar-benar tertidur. Akhirnya aku mencoba juga untuk tidur. Sempat kulirik arlojiku. Jam s epuluh lewat sedikit. Beberapa lama kemudian entah karena dongkol atau lelah karena perasaan "menggantung" a kupun tertidur.
Entah berapa lama aku tertidur sampai aku merasakan ada tubuh yang mendesakku dengan lemb ut. Ida sudah bangun rupanya. Dadanya meskipun kecil tapi masih terasa menekan lenganku. Aku terkejut,
"J am berapa sekarang?" tanyaku.
"Jam dua belas lewat" jawabnya.
Berarti sudah dua jam aku tertidur. Ida me nggapai gelas yang ada di meja kecil dekat ranjang, meneguk airnya dan memberikannya padaku.
"Minum dulu, mulut orang habis bangun tidur bau ".
"Siapa bilang?" kataku sambil mengambil permen yang kuletakkan di de kat gelas tadi, membuka bungkusnya dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Ih curang, bagi dong permennya" katan ya sambil menciumi bibirku. Kami saling memainkan permen tadi, bergantian mengulumnya sampai akhirnya habis.
Ida di atasku, menciumi dadaku dan menjilati putingku. Diganjalnya kepalaku dengan bantal satu lagi sehi ngga kepalaku agak ke atas. Aku tidak tahan dengan aksinya sehingga kutarik mukanya ke mukaku. Kami berciuma n dengan penuh gairah. Kaki kami saling menjepit, kakiku menjepit kaki kirinya dan kakinya juga menjepit kak i kiriku. Kugesekkan selangkanganku pada pahanya. Ia mendesah. Gantian sekarang selangkangannya yang mengges ek pahaku.
Kami makin terbuai dengan gerakan masing-masing. Kini kedua kakinya menjepit kakiku. Sementara penisku yang dari tadi penasaran sudah kembali mengeras. Dalam posisi di atasku sambil menahan tubuh dengan tangannya Ida menggerak-gerakkan pinggulnya mencoba memasukkan penisku ke dalam liang kenikmatannya tanpa b antuan tangannya. Agak sulit memang, tapi ketika kepala penisku sudah mulai masuk ke dalam liang vaginanya i a memutar-mutar pinggulnya sambil menekan ke bawah. Kurasakan gerakan peristaltik yang kuat dari otot kemalu annya. Sampai kemudian seluruh batang penisku terbenam dalam vaginanya. Ia masih memutar-mutar pinggul dan m embuat gerakan naik turun. Aku meremas, memilin serta mengulum payudaranya. Kami saling berbagi kenikmatan d engan posisi seperti itu.
"Ouh.. Mmmhh.. Ngngngnhhk" Ida mendesah tertahan.
Aku mencoba duduk dengan I da tetap dalam pangkuanku. Kami bisa berpelukan dan berciuman dengan sangat intens. Ida tetap menggerakkan p inggulnya naik turun. Penisku terasa seperti dikocok-kocok.
Kurebahkan Ida ke arah yang berlawanan dengan posisi tidur semula, sehingga kini bantal berada di posisi kaki. Kugenjot pinggulku naik turun dengan ritme yang berubah-ubah. Kadang cepat kadang sangat lambat. Tapi setiap gerakanku selalu kubuat agak tinggi sehin gga penisku terlepas dari vaginanya, lalu kutekan lagi. Setiap penisku dalam posisi masuk, menggesek bibir v aginanya ia terpekik kecil. Kami berdua sangat menikmati permainan ini.
Kakinya bergerak dan kedua kakiny a kujepit dengan kedua kakiku. Dalam posisi begini aku tidak bisa menarik penis terlalu tinggi karena susah untuk memasukkannya lagi. Namun dalam posisi begini jepitan vaginanya jadi sangat terasa.
Kami mengubah p osisi lagi. Kali ini kaki kirinya di luar kaki kananku dan kaki kanannya di dalam kaki kiriku. Kubelit kaki kirinya dengan kaki kananku dan sebaliknya. Dengan posisi begini kami bisa menghemat gerakan. Dengan sedikit gerakan saja rangsangan kenikmatan yang timbul sangat terasa. Kadang kami hanya diam saja dan cukup mengger akkan otot kemaluan kami untuk saling memberi rangsangan. Ketika kurasakan akan mencapai puncak kenikmatan k uubah posisi kaki dalam posisi konvensional. Posisi konvensional ini paling memungkinkan bagi kami untuk men gekspresikan puncak kepuasan secara maksimal.
"Ida.. Ouhh nikmat sekali, hebat sekali permainanmu.. "
Kuperkirakan sudah setengah jam kami bercinta, namun terasa ada energi tambahan yang membuat kami bertahan u ntuk tidak segera mencapai puncak. Kupercepat gerakanku dan gerakannya juga semakin liar.
"Agak ke atas s edikit.. Oooh" pintanya.
Kuikuti saja permintaanya. Aku menggeser tubuhku agak ke atas bagian tubuhnya, s ehingga gerakan penisku menggesek bagian atas vaginanya. Rupanya dengan posisi ini gesekan penisku dengan kl itorisnya mebuat dia sangat nikmat. Tubuhnya kadang seakan merinding dan gemetar. Pinggulnya memutar-mutar d an naik seakan-akan menghisap penisku.
Bunyi deritan ranjang, erangan dan bunyi selangkangan beradu seaka n-akan berlomba. Tubuh kami sudah basah oleh keringat yang membanjir. Dinginnya udara Puncak tak terasa lagi . Kurasakan ada gerakan menjalar dalam penisku. Inilah saatnya sebentar lagi akan kuakhiri permainan ini. Id a terengah-engah menikmati kenikmatan yang dirasakannya.
"Ida.. Da sebentar lagi aku mau keluar.. "
Ge rakanku semakin cepat hingga seakan-akan tubuhku melayang. Lututku mulai sakit.
"Ayolah Anto aku juga mma u kkel.. uar. Kita sama-sama sampai".
Ketika kurasakan aliran pada penisku tak tertahankan lagi kuunjamka n dalam-dalam sambil memekik tertahan.
"Ida.. Ouh .. Sekarang.. Sekarang"
"Ouh Anto aku.. Keluar"
Kak inya membelit kakiku, kepalanya mendongak dan pantatnya diangkat. Kurasakan denyutan dalam vaginanya sangat kuat. Kutembakkan laharku sampai beberapa kali. Giginya dibenamkan dalam bahuku sampai terasa pedih. Aku mer asakan hal yang luar biasa sepertinya melayang di udara dan rasanya cairan laharku menjadi lebih banyak. Nap as kami masih tersengal-sengal, kucabut penisku dan menggelosor di sampingnya. Jarinya memegang erat jariku.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Wouw.. Luar biasa" jawabku.
"Aku baca dari sebuah buku tentang teknik pijatan untuk melancarkan aliran darah ke penis dan memperbanyak tembakan mani".
"Pantas saja, rasanya maniku sanga t banyak dan senjataku sangat keras. Terima kasih Ida".
Kami tidur sampai pagi dan rasanya cukup sekali s aja kami bercinta dalam semalam kalau kepuasan yang didapat luar biasa seperti kali ini. Kuantarkan Ida kemb ali ke rumahnya. Temannya yang membukakan pintu kemarin tersenyum-senyum dan melirik genit ke arahku.
"Bo leh dong lain kali ajak kita, masakan Ida terus yang diajak. Kita punya oke juga lho" katanya sambil melihat ke arah Ida sambil meleletkan lidahnya.
"Silakan aja kalau Antonya mau".
Hmm, dipikir kita takut.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar